TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saksi ahli Prabowo-Hatta, Marwah Dauh Ibrahim, mengatakan kacaunya pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2014 karena daftar pemilih tetap (DPT) oplosan.
Menurut Marwah, DPT Pemilu Presiden bertambah 6.019.286 dari pemilihan umum anggota legislatif yang dilaksanakan April lalu sehingga DPT mencapai 192 juta. Padahal, lanjut Marwah, menurut data daftar pemilih sementara (DPS) penduduk berusia 17 tahun ke atas berjumlah sekitar 176 juta.
"Artinya undang-undang kita mengatakan yang berhak adalah pada hari itu (memilih) berusia 17 tahun ke atas dan sudah menikah. Artinya kita membuat undang-undang dan melanggarnya sendiri. Itu berarti lebih dari 12 juta peserta Pemilu kita di bawah umur atau jumlahnya berganda," ujar Marwah saat memberikan keterangannya di MK, Jakarta, Jumat (15/8/2014).
Marwah mengatakan DPT oplosan tersebut sangat besar sehingga memasukkan pemilih-pemilih yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau tidak memiliki kode induk wilayah administrasi.
Peraturan KPU, kata Marwah, mensyaratkan pemilih haruslah memperhatikan prinsip pemilih di TPS tidak menggabungkan pemilih yang berbeda kelurahan atau desa dalam satu TPS.
Menurut Marwah, pemilih bodong dalam DPT oplosan tersebut dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Marwah mengingatkan agar presiden dan wakil presiden terpilih Indonesia tidak bernasib tragis seperti Presiden Filipina, Maria Gloria Macapagal Arroyo.
"Kita tidak ingin pengalaman Arroyo yang ketika 24 Juni 2004 dilantik sebagai presiden tapi pada tanggal 10 Juli kurang dari satu tahun terbukti curang oleh biro penyidik nasional dan kemudian harus berhenti di tengah jalan. Kita mengharapkan hasil pemilihan ini adalah legitimate," ujar Marwah.