TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim hukum capres Prabowo Subianto dan cawapres Hatta Rajasa, Didi Supriyanto menyatakan, perbedaan keputusan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait dengan kotak suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), merupakan terobosan hukum baru yang terjadi di Indonesia.
"Ini bagian dari terobosan hukum baru lah. Di mana satu lembaga menyatakan melanggar, dan lembaga lain menerima pelanggaran itu," kata Didi saat jeda sidang hasil perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres di gedung MK, Jakarta, Kamis (21/8/2014).
Menurut Didi, bukti-bukti yang diajukan di persidangan terkait pembukaan kotak suara, jelas-jelas KPU melanggar peraturan yang ditentukan. Sehingga, dirinya menilai MK tidak konsisten, padahalkan pembukaan kotak suara dizinkan mulai 8 Agustus 2014.
Didi menjelaskan, MK memang tidak menilai tindakan KPU dalam pembukaan kota suara tersebut, tetapi yang dinilainya hanya dokumen KPU yang diambil dari kotak suara.
"MK menganggap dokumen itu bisa diterima oleh mahkamah, walaupun diambil secara salah dengan melanggar kode etik. Ini bertentangan dengan putusan MK dan putusan DKPP," katanya.
Sebelumnya pada persidangan, Hakim Anwas Usman menyatakan, pembukaan kotak suara dalam memperoleh bukti-bukti melanggar hukum karena karena tidak didasarkan perintah pengadilan.
"Namun karena bukti yang ada di dalam kotak suara diperlukan termohon untuk menanggapi permohonan pemohon dilakukan melalui peroses transparan dan akuntabel dengan mengundang saksi pasangan calon, pengawas pemilu dan kepolisian, dan membuat berita acara sehingga menurut Mahkamah perolehan bukti tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ujarnya.