TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Salah seorang demonstran wanita yang menjadi korban bentrokan jelang putusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014 di Patung Kuda, Thamrin, Jakarta pusat, mengaku mendapatkan perlakuan tak manusiawi dari aparat kepolisian.
Menurutnya, bukannya memberi pertolongan dan melindungi, aparat kepolisian justru bertindak kasar, tak lagi memandang jenis kelamin.
"Saat bentrokan pecah, polisi menembakkan gas air mata ke arah kami. Di situ saya terkena dan merasa sesak. Saya coba berlari menghindar namun terjatuh dan terinjak-injak. Saat itu saya minta tolong Polisi yang ada di samping saya, tapi dia malah diam saja," kata Rina saat ditemui di Posko Relawan Prabowo-Hatta, Rumah Polonia 21, Jakarta Timur, Rabu (27/8/2014).
Dirinya mengaku mencoba berdiri sekuat tenaga untuk menghindari kerumunan massa yang semakin banyak berlari ke arahnya. Ia mencoba menyingkir ke tepi jalan dan mendekati aparat keamanan dengan harapan mendapat perlindungan. Namun, lagi-lagi pil pahit diterimanya. Aparat keamanan justru mendorong keras badannya hingga kembali terjatuh dan terinjak.
"Saya sudah bilang, mohon pak tolong saya, saya sudah tidak kuat. Tapi mereka malah mendorong saya kencang sekali hingga saya jatuh lagi. Kaki saya sobek terkena aspal," katanya.
Akhirnya, Rina menyerah dan jatuh pingsan. Ia mengaku tak lagi mengingat peristiwa setelahnya. Ia baru menyadari setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit Budi Kemuliaan.
"Begitu sadar saya sudah di rumah sakit. Saya sudah tidak tahu siapa yang menolong saya setelah itu," kata Rina.
Diketahui, Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM, Natalius Pigai bersama beberapa anggotanya mendengarkan kesaksian para saksi dan korban bentrokan jelang putusan Mahkamah Konstitusi di Rumah Polonia 21, Jakarta Timur, Rabu (27/8/2014) siang.
Dalam pertemuan tersebut, 17 dari 23 korban bentrokan pendukung Prabowo-Hatta dengan aparat kepolisian di patung kuda Arjuan Wiwaha menceritakan satu persatu kekerasan yang dialaminya.