TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Alasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak permintaan Joko Widodo menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dinilai tepat. Demikian dikatakan Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay, Minggu (31/8/2014).
Pasalnya, kata Saleh, menaikkan harga BBM di akhir periode akan meninggalkan kesan tidak baik. "Apalagi, SBY sudah pernah menaikkan BBM beberapa kali sepanjang masa pemerintahannya," tuturnya.
Selain itu, ujar Saleh, menaikkan harga BBM dinilai sebagai suatu kebijakan strategis. Oleh karena masa pemerintahannya kurang dari dua bulan, kebijakan strategis seperti itu tidak tepat diambil oleh SBY. Menurut Saleh, hal itu adalah bagian dari etika politik yang mungkin menjadi salah satu pertimbangan SBY.
"Kebijakan strategis itu kan tidak hanya berkaitan dengan penandatanganan perjanjian kerjasama dengan luar negeri. Kenaikan harga BBM di dalam negeri juga termasuk hal yang sangat strategis. Soalnya, kebijakan itu sangat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Wajar jika dengan halus SBY menolak permintaan itu," imbuhnya.
Saleh juga melihat PDIP dinilai tidak begitu konsisten dengan kebijakan terkait BBM. Ketika SBY mengusulkan kenaikan BBM beberapa waktu lalu, PDIP termasuk yang paling keras melakukan penolakan.
Sekarang, ujarnya, justru PDIP yang berharap agar BBM dinaikkan, bahkan sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden.
"Kalau alasannya untuk menutupi defisit APBN, dulu juga SBY menggunakan alasan yang sama. Faktanya, alasan itu ditolak dengan tegas. Malah, mereka mengajukan opsi-opsi lain untuk menutupi defisit tersebut," katanya.
Karena itu, jika Jokowi merasa berat untuk menaikkan harga BBM, sebaiknya dicari opsi-opsi lain yang lebih baik. "Apalagi sebelumnya opsi-opsi itu sudah pernah ditawarkan. Sekarang tinggal bagaimana menerapkannya. Dengan begitu, rakyat yang telah memilih Jokowi tidak merasa dibebani," imbuhnya.