TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berpusat di Paris, Perancis, merilis Program Penilaian Pelajar Internasional atau Programme for International Student Assessment (PISA) 2018.
Berdasarkan hasil PISA 2018 menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih rata-rata skor 371, sains rata-rata skor siswa Indonesia yakni 396, dan matematika yakni 379.
Penilaian ini membuat Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara alias nomer 5 dari bawah.
Indonesia hanya memiliki skor yang lebih dari Maroko, Lebanon, Kosovo, Republik Dominika, dan Filipina.
Sementara Tiongkok, Singapura, Hongkong, Macao, dan Estonia menjadi lima negara tertinggi dalam peringkat PISA.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim pun angkat bicara mengenai masalah ini,
Ia mendorong semua pihak, mulai guru, kepala sekolah hingga orangtua untuk ingat bahwa Indonesia mengalami krisis literasi.
Baca: Gandeng Kominfo, Gojek Dorong Peningkatan Literasi Digital
Baca: Impian Besar Dua Pemain Jebolan Garuda Select Susul Egy Maulana Berkarir di Benua Biru
Baca: Angka Kasus Virus Corona di Korea Selatan Capai 2.900, Sebagian Besar Ditemukan di Daegu
“Kami mengajak seluruh pihak dapat meningkatkan animo siswa untuk membaca dan orangtua membantu meningkatkan minat baca pada anaknya,” katanya.
“Apakah ibu-ibu di seluruh Indonesia punya buku-buku di ruang TV-nya. apakah hanya ada TV saja. Seharusnya ada buku-buku di mana anak-anak itu bisa mengambil secara sukarela," ucap Nadiem.
Kepala Perpustakaan Nasional RI, Muhammad Syarif Bando mengatakan negara yang kuat adalah negara yang memiliki tingkat literasi yang tinggi.
Tidak sekedar mampu baca tulis, Syarif menuturkan ada empat tingkatan literasi yang ingin dicapai yakni pertama, kemampuan mengumpulkan sumber sumber bahan bacaan.
Indonesia saat ini masih kekurangan sumber bahan bacaan, padahal UNESCO mensyaratkan minimal 1 orang memiliki 3 buku bacaan baru dalam setahun.
“Karena itu salah jika dikatakan Indonesia memiliki budaya baca yang rendah, karena minat baca di Indonesia tinggi, hanya saja tidak ada yang bisa dibaca,” katanya saat menutup kegiatan Rakornas Perpustakaan Nasional 2020 di Jakarta, Kamis, (27/2/2020).
“Saat ini bisa dikatakan, di Indonesia satu buku ditunggu 5.000 orang, butuh waktu 13 tahun untuk satu buku bisa dibaca di seluruh pelosok Indonesia, kita kurang buku,” ujarnya.