TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu hal yang dikemukakan oleh Kemendikbud terkait dampak dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah adanya tekanan psikologis pada anak.
Dimana, itu bisa berupa stres lantaran minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan, bisa juga dikarenakan tekanan akibat sulitnya pembelajaran jarak jauh itu sendiri.
Bagi anak yang cepat atau mudah beradaptasi, PJJ mungkin bukan sebuah masalah. Namun tidak demikian bagi anak yang sulit atau tidak cepat beradaptasi.
Alih-alih efektif, PJJ justru dapat mendatangkan tekanan. Terlebih saat menghadapi ujian.
Ya, ketidaksiapan menghadapi ujian tak dimungkiri dapat menjadi pemicu stres lainnya pada anak.
Bukan saja membuat anak kurang termotivasi belajar, ada juga yang stres karena memiliki target yang tinggi tetapi bingung untuk mencapainya karena tidak ada guru yang mendampingi secara fisik.
Lantas, bagaimana caranya agar psikologi anak tetap stabil/terjaga selama pembelajaran jarak jauh? Termasuk juga menjaga agar tetap stabil menjelang ujian sekolah?
Tentu bukan perkara mudah. Karena bagaimanapun ada begitu banyak perbedaan yang harus dihadapi antara sebelum dan selama pandemi.
Sebagai contoh, jika sebelum pandemi dulu pembelajaran 100 persen dilakukan di sekolah. Dimana siswa memiliki atau membentuk pola belajar yang umumnya sama.
Misalnya belajar berkelompok, belajar dengan teman sebaya, mandiri, atau dengan guru sebagai fasilitator yang dapat memantau maksimal pembelajaran siswa.
Setelah pandemi, pembelajaran dilakukan dari rumah, jarak jauh, sehingga rangkaian prosedur belajar yang dilakukan pun ikut berubah. Lebih banyak mandiri.
Kalaupun ada belajar berkelompok, itu dilakukan secara virtual, sehingga tentunya ada perbedaan.
Peran guru dalam proses pembelajaran pun demikian, menjadi sangat berkurang. Sebagai gantinya, orang tua mengambil alih.
Sekali lagi, ini tidak mudah. Bukan saja bagi orang tua, tetapi juga si anak. Dari sini, berbagai tekanan psikologis mulai berdatangan.