Pada level tertentu, bahkan membuat anak menjadi kurang termotivasi dalam aktivitas pembelajaran.
Hal tersebut disampaikan Psikolog Intan Erlita MPsi, dalam acara PODCAST Telset TV.
Menurutnya, ini semua tak terlepas dari kedudukan anak itu sendiri sebagai makhluk sosial.
Dimana mereka butuh untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Dalam hal ini bukan saja orang tua, tetapi juga teman seusianya, gurunya dan lingkungannya.
"Karena logikanya anak-anak itu, baik TK, SD, SMP, maupun SMA, membutuhkan kontak atau sosialisasi yang cukup tinggi. Dimana mereka belajar mengenali lingkungan, belajar mengenali bagaimana ngobrol dengan guru, orang yang lebih tua, serta bagaimana beradaptasi dengan teman-teman seumurannya. Pandemi ini membuat mereka kehilangan masa-masa yang dikatakan sebagai hubungan manusianya itu. Hubungan bagaimana dia beradaptasi. Nah ini menimbulkan stress tersendiri," jelas Intan.
Baca juga: Kemendikbud Gandeng Sektor Swasta Berikan Modul untuk PJJ Luring
Baca juga: Kemendikbud Hentikan Subsidi Kuota PJJ untuk Pengguna di Bawah 1 GB
Kondisi ini diperburuk dengan tuntutan belajar yang tinggi, tugas-tugas yang banyak namun waktu yang tersedia untuk mengerjakan sedikit, serta tidak adanya waktu untuk mengaktualisasikan diri.
Di level ini, Intan menyebut bahwa banyak anak akhirnya merasa jenuh dan lelah. Ini kemudian tidak hanya berdampak pada nilai yang turun, tetapi juga emosi yang tidak terkontrol. Dimana anak mudah marah.
"Jadi mereka gampang marah, gampang seolah-olah kayak ngelawan sama orang tuanya. Kayak dia ngga nyaman dengan kondisinya. Nah itulah yang terjadi dengan anak-anak kita saat ini, kalau kita bicara mengenai efek negatif dari PJJ," tambahnya.
Saat kita mengaitkan ini dengan ujian, tekanannya pun menjadi semakin tinggi. Di satu sisi, mereka masih harus beradaptasi. Di sisi lain, ada target-target yang mungkin tetap harus diwujudkan.
"Jadi kondisi memasuki ujian ini ada dua, ada siswa yang ‘Ok I'm ready’, ada juga yang konteksnya nggak siap, akhirnya stres," kata Intan.
Disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan, bukan saja sebagai supporter, yang memberi dukungan pada anak dalam proses belajarnya, tetapi juga seseorang yang bisa diajak berdiskusi, menjadi pendengar yang baik, dan tentu saja memberi motivasi.
"Jadi sekarang ini bisa dibilang merupakan saatnya bagi kita untuk lebih mengenal anak kita. Cobalah untuk mendengarkan mereka. Dengan begitu mereka bisa berpikir, ‘saya bisa datang ke orang tua saya kapanpun saya ada masalah, karena orang tua saya mau mendengarkan.’ Karena ada kalanya anak kita juga ngga butuh solusi dari kita. Mereka cuma butuh didengarkan," lanjut Intan.
Hal yang tak jauh berbeda diungkap Maryam Mursadi, M.Pd, pemerhati dunia Pendidikan sekaligus Head of Academic KELAS PINTAR.
Meski menyebut demotivasi pada anak, khususnya menjelang ujian, kerap terjadi. Namun ini bukan berarti tak bisa diatasi apalagi dihindari.