Dia menjelaskan, untuk dapat mencetak para penghafal Qur’an dibutuhkan berbagai infrastruktur seperti lembaga pendidikan yang layak, santri penghafal, dukungan orang tua santri hingga lingkungan pendidikan yang kondusif.
Pendiri Pesantren Tahfidz Ar-Rasyid, Cibinong, Bogor ini mencontohkan kesejahteraan para guru ngaji sebagai salah satu pilar sukses pembentukan penghafal Qur’an.
Dijelaskan, saat ini masih banyak guru ngaji yang mendapatkan upah di bawah Rp 50 ribu per bulan atau bahkan tak mendapatkan bayaran sekalipun.
Ummi Rasyid menyebutkan hanya sekitar 15 persen guru ngaji yang menerima bayaran Rp500 ribu atau lebih.
"Hanya 15 persen dari data kami miliki itu menerima per bulan Rp500 ribu ke atas. Selebihnya, Rp500 ribu ke bawah. Bahkan para guru ngaji di Kepulauan Aru, mereka tetap ikhlas mengajar di bagian Indonesia paling timur," sebutnya.
Dia memaparkan, para guru ngaji tersebut memiliki dedikasi tinggi meskipun untuk mengajar mereka harus berjuang ekstra seperti meninggalkan kampungnya dengan menaiki perahu, pindah ke daratan, naik lagi ke tempatnya.
Presiden ASAR Humanity Dicky Irawan menambahkan, salah satu konsentrasi lembaga yang dipimpinnya saat ini adalah mendukung program tahfiz Qur’an yang dilakukan Duta Quran Indonesia.
Dicky mengatakan, pada awal berdiri lembaganya, para pendiri berkomitmen memberikan 70 persen energi yang dimiliki untuk membesarkan kegiatan kemanusiaan di lembaganya.
"Kami sudah kumpulkan ribuan ton dan ribuan mushaf Al Quran. Kita juga selenggarakan pelatihan untuk santri dan guru di Ciloto," ungkap Dicky.
"Di bawah kita banyak orang yang harus kita bantu untuk dapat belajar Al-Qur'an. Kita ingin menyejahterakan para guru ngaji yang selama ini masih dibantu ala kadarnya," ungkap Dicky.
Dalam kegiatan kunjungannya ke sebuah daerah di Sulawesi dia bertanya pada seorang guru ngaji yang mengaku hanya mendapatkan bayaran Rp150 ribu per bulan.
Ketika dia menanyakan kepada sang ustaz mengapa tidak bekerja saja di pabrik atau perusahaan-perusahaan di sekitar tempat tinggalnya, jawaban yang diberikan membuatnhya terharu,
“Jawabannya membuat saya malu. Beliau bilang begini, ‘Pak Dicky meskipun saya nggak dibayar sekalipun, saya tetap bersama Al-Qur’an. Karena saya ingin menjadikan hidup mati saya bersama Al-Qur’an,” ujarnya.
Karena itu, lembaganya bertekad akan terus mengiringi para penghafal Qur’an yang kini belajar di pesantren dan rumah tahfiz yang dinaungi Duta Qur’an Indonesia.