Ketika itu, label yang dipakai bukan lagi kebetulan, melainkan sebuah keajaiban.
Namun, seperti kata Regragui, untuk bisa melewati semifinal melawan tim Prancis yang nota bene adalah juara bertahan, keajaiban saja masih belumlah cukup.
Mereka membutuhkan tim yang betul-betul fit, dan benar-benar tampil maksimal.
Hal yang tak mereka dapatkan kemarin.
Sebelum kick-off, Regragui mengungkapkan bahwa dia tidak punya pilihan selain menarik Nayef Aguerd karena flu.
Dan kemudian menarik keluar Romain Saïss, sang kapten sekaligus bek andalan, yang cedera hanya 20 menit setelah pertandingan.
Namun, dia bersikeras dia tidak menyesal mempertaruhkan kaptennya, meskipun mengakui itu berkontribusi pada awal yang “buruk”.
“Di Piala Dunia ini mungkin satu langkah terlalu jauh. Bukan dalam hal kualitas atau taktik, tapi secara fisik kami kalah malam ini,” katanya.
“Kami memiliki terlalu banyak pemain hanya di level 60 persen atau 70%. Dengan semua skuat yang fit, kami bisa menyebabkan banyak masalah bagi mereka.”
Dengan skuat yang tak sepenuhnya pulih, Maroko pun kalah. Tapi statistik menunjukkan betapa gagahnya Singat Atlas ini bertarung.
Dikutip dari Soccernet, Maroko mendominasi penguasaan bola sampai 61 persen, dengan melepaskan 13 kali tendangan (tiga akurat).
Ini menunjukkan tingginya daya juang mereka untuk berusaha membalikkan keadaan.
Tak pernah di laga sebelumnya di Piala Dunia mereka mendominasi penguasaan bola seperti itu.
Karena bermain bertahan memang sudah menjadi filosofi dari Regragui selama ini.