TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bahasa yang tidak lazim digunakan oleh para politisi, khususnya oleh kedua kandidat calon presiden RI.
Masih teringat bahasa "Tampang Boyolali" oleh Prabowo Subianto, saat ini Joko Widodo melontarkan menyebut "Politisi Genderuwo", sebagai konotasi kepada mereka yang sering menakut-nakuti rakyat.
Sebelumnya, Jokowi juga pernah menyebut "Politisi Sontoloyo".
Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago menyebutkan saat ini kampanye pilpres sudah kehilangan substansinya.
Alasannya, para politisi sudah lebih memilih untuk saling mengkritisi menggunakan bahasa-bahasa di luar substansi kampanye.
"Mereka menyebut 'sontoloyo', 'genderuwo', 'tampang Boyolali' dan yang lain juga. Bagi saya, dagelan saja. Kampanye kita sudah kehilangan substansinya," jelas Pangi Syarwi Chaniago kepada Tribun, Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Seharusnya, para politikus menjelaskan tentang program dan visi misi pasangan calon kepada masyarakat.
Program itu yang nantinya akan menjadi bahan diskusi di masyarakat agar dapat lebih mengenal calon yang berkontestasi saat ini.
"Bukan justru berdebat soal narasi-narasi yang sesungguhnya tidak punya makna," lanjutnya.
Baca: Fahri Hamzah: Yang Punya Kapasitas Sontoloyo dan Genderuwo Itu Pemerintah
Pakar Media Sosial, Ismail Fahmi menjelaskan dengan kata-kata yang tidak lazim digunakan oleh politikus, justru bisa saja menjadi senjata makan tuan.
Seperti halnya, "Tempe Setipis ATM", "Politisi Sontoloyo", dan "Tampang Boyolali".
Menurutnya, hal itu akan sangat tergantung dari simpatisan kedua kubu untuk membuat konteks dari perkataan tersebut.
"Kata-kata seperti ini akan sangat mudah untuk diolah di media sosial. Tapi, bisa jadi boomerang bagi mereka yang melontarkan. Akan sangat tergantung bagaimana fans kedua kubu meng-konteks-kan untuk melakukan serangan," ujar Ismail Fahmi.
Kepada kedua kubu, Ismail Fahmi mengingatkan agar tidak banyak melontarkan kata-kata seperti itu.