Sejauh ini penyelidikan terus dilakukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik temuan yang jika terbukti, akan menjadi sebuah pelanggaran besar.
Proses pemungutan suara pun sempat dihentikan sementara oleh KPU, guna menghindari adanya kemungkinan lain yang tidak diharapkan.
Masalah pekerja migran di Hong Kong
Dikenal sebagai negara tujuan para pekerja migran Indonesia, Hong Kong juga membuka TPS bagi para WNI menyalurkan hak suaranya.
Sayangnya, Migrant Care menemukan beberapa kendala yang memaksa para WNI ini tidak bisa menggunakan hak pilihnya dengan lancar.
Misalnya. paspor atau dokumen lain yang ditahan oleh majikan, pembatasan waktu libur kerja, tidak mendaftar melalui mekanisme online sebelumnya, atau pemilih pos yang tidak ditemukan alamatnya sehingga surat kembali ke pengirim.
Baca: Mengkhawatirkan, Pemilu India Makin Bergantung pada Konglomerat
Hal-hal ini tentu membuat mereka kesulitan atau bahkan tidak bisa memilih capres cawapres dan anggota legislatif, sebagaimana WNI lainnya.
Banyak pemilih terpaksa golput di Sydney
Terakhir, adanya lonjakan pemilih di Sydney, Australia yang tidak dapat ditangani oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) setempat.
Pihak PPLN mengaku tidak mengantisipasi pembeludakan massa yang terjadi.
Banyaknya massa yang datang, membuat sekitar 400 WNI yang berstatus sebagai Daftar Pemilih Khusus (DPK) tidak bisa menyuarakan pilihannya, karena waktu yang tidak memungkinkan.
Sejatinya, dalam aturan main pemilu disebutkan bahwa pemilih yang berstatus DPK berhak mencoblos pada satu jam terakhir atau sebelum pukul 18.00 waktu Sydney.
Namun, faktanya PPLN Sydney tidak sanggup menampung lonjakan massa sehingga antrian membeludak.
Atas kejadian ini, muncul sebuah petisi dari WNI di Australia yang menghendaki diadakan Pemilu ulang di wilayahnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemilu 2019 di Luar Negeri, Antusiasme WNI hingga Sejumlah Kekisruhan" (Kompas.com/Luthfia Ayu Azanella)