News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramadan 2012

Lebaran Tanpa Tempe?

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Istadi (kiri) meratakan biji kedelai dalam plastik yang siap akan di fermentasi di Desa Cimanggu Barat, Kecamatan Tanah Sereal, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/7/2012).

Yang jelas, ongkos produksinya itu menurutnya tinggi. Pasalnya dia tidak menggunakan bahan bakar kayu, melainkan solar demi menutup tingginya order dari berbagai pasar.

Wacana aksi menutup industri oleh kalangan perajin tempe di berbagai daerah menurutnya wajar. Dia pun mengaku bukan tidak mungkin ikut melakukannya. Dijelaskan, hanya dengan cara menutup, dalam tiga atau empat hari, harga tempe dapat dinaikkan ketika kemudian industrinya buka kembali.

Namun, baginya, cara itu pun harus dengan kesepakatan antara pihaknya dan beberapa agen di bawahnya. Agen-agen yang dimaksudkannya itu adalah mereka yang mengambil kedelai siap produksi darinya untuk kemudian diproses dan dikemasi.

Sejauh ini langkah kesepakatan semacam itu belum pernah ditempuhnya dalam konteks untuk mengatasi adanya kenaikan harga yang tidak wajar. Pada kenaikan harga kedelai saat pilpres di mana Jk - SBY terpilih kali terakhir, menurutnya kenaikannya tak sebesar saat ini.

"Kenaikan saat ini bukan tidak mungkin memaksa industri tutup. Tapi sejauh ini di DIY - Jateng saya belum dapat kabar soal tutup," tuturnya.

Sebelum hal itu terjadi, dia sebenarnya berharap pemerintah segera mengambil langkah untuk menstabilkan harga. Idealnya, menurutnya, harga kedelai Rp 6.000 per kilogram. Belum lagi, dia khawatir jika kondisi ini dimanfaatkan beberapa pihak untuk melakukan penimbunan.

"Importir kan biasanya begitu. Karena barang langka, bukan tidak mungkin barang tidak disalurkan," ujarnya.

Dampak kenaikan harga kedelai ini juga dialami perajin tempe tradisional. Meski demikian, efeknya tidak sebesar yang dialami perajin dengan perangkat modern seperti Muchlar. Dwijosunaryo (60), perempuan perajin tempe tradisional asal Joho Depok Sleman mengatakan, perajin tradisional biasanya mengambil kedelai dari pemasok di Ngabean Yogyakarta dengan harga Rp 7.600 per kilogram.

"Kenaikannya tidak terlalu tinggi.Sebelumnya kan Rp 7.000 perkilogram," kata Dwijosunaryo.

Namun demikian, dia juga melakukan pengurangan ukuran tempe. Tempe produksinya yang khas berbungkus daun pisang itu kini menjadi lebih tipis dari sebelumnya. Dengan produksi 12 kilogram per hari atau senilai Rp 160 ribu, jika stabil maka tidak ada lagi masalah.

"Saya harap setelah puasa harga bisa turun," lanjut perempuan yang punya nama muda Ponirah itu.

Berita Terkait: Pemilihan Gubernur DKI
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini