"Imam Abu Hanifah mengatakan kepada khilafah itu kalau ia harus mengganti sesuatu yang berat, yakni berpuasa selama dua bulan berturut-turut," ungkapnya.
"Padahal ada dua hal lagi yang harus dilakukan oleh khilafah untuk menggantinya, yakni memberi makan 70 fakir dan miskin serta membebaskan hamba sahaya. Tapi itu tidak dikatakan oleh Imam Abu Hanifah," sambung Ahmad.
Alasan tidak dikatakannya dua hal itu, karena Imam Abu Hanifah mengira kalau khilafah itu pasti akan mudah melakukan dua hal terakhir.
Dan itu dikhawatirkan khilafah itu akan menyepelekan puasa.
Sementara, untuk syarat dua bulan puasa berturut-turut pasti akan berat dilakukan oleh khilafah itu.
"Imam Abu Hanifah mengatakan 'kalau aku menyebutkan yang dua itu (memberi makan 70 fakir dan miskin serta membebaskan hamba sahaya), maka ia akan menganggap ringan terhadap puasa,'" ujarnya.
Untuk itu, katanya, hikmah yang diambil dari kisah tersebut adalah bahwa puasa merupakan ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan Allah SWT.
Sehingga, ibadah puasa ini tak boleh dianggap remeh.(*)