Dr Mutohharun Jinan, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Ada sekitar 45 juta pengguna internet di Indonesia. Berbagai survei menunjukkan Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di dunia pengguna teknologi jejaring sosial, setelah Amerika dan India.
Adakah hubungan data tersebut dengan kehidupan keagamaan? Mudah diduga, ada hubungan antara kemajuan penggunaan media sosial dan kehidupan keagamaan, karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Di antara implikasi yang sangat terasa dari situasi tersebut adalah terjadinya pergeseran pemilik otoritas keagamaan dan makna simbol-simbol agama. Secara tradisional otoritas keagamaan Islam ada di tangan para ulama, kiai, dan guru.
Mereka adalah pewaris para Nabi (al-ulama'u warasatu al-anbiya') yang memiliki pengetahuan dan kemampuan memahami dasar-dasar ajaran Islam sehingga dapat diamalkan. Mereka secara langsung memberikan arahan, nasihat, peringatan, dan membina ummat dalam menjalankan pesan-pesan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Namun kini otoritas keagamaan mengalami pergeseran (diseminasi), yaitu umat memperoleh otoritas baru yang tampak impersonal, berbasis utama pada jejaring informasi (internet). Setiap orang bisa secara mudah mengakses pengetahuan menurut selera dan kebutuhan masing-masing.
Seseorang yang memerlukan jawaban atas suatu persoalan tidak harus bertanya langsung kepada figur ulama di pesantren. Fatwa-fatwa keagamaan tidak lagi hanya dimiliki oleh ulama tertentu, tetapi setiap orang bisa menemukan jawaban dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tersedia di media.
Kecederungan pergeseran tersebut mengandung tantangan dan harapan. Tantangannya adalah fatwa-fatwa para ulama dan lembaga keagamaan semakin rentan terhadap pengawasan oleh suara-suara kritik alternatif secara online baik oleh umatnya sendiri maupun umat lain.
Semakin terbuka ruang memeriksa kembali doktrin, simbol, dan praktik-praktik tradisi keagamaan. Sedangkan harapannya adalah dengan semakin terbukanya sumber-sumber otoritas baru Islam melalui new media, mendorong komunikasi, dan penyebaran pesan Islam sedemikian cepat.
Informasi Islam dapat tersedia hanya dengan beberapa gerakan di keyboard. Ribuan buku dapat terkemas dalam beberapa keping flashdisk dan dapat dengan mudah diakses melalui internet.
Saat ini generasi muslim baru, dan bahkan non-muslim tertarik mempelajari lebih banyak tentang Islam, hanya butuh untuk menjelajahi website untuk belajar lebih banyak tentang agama dengan pertumbuhan tercepat.
Generasi baru
Kehadiran teknologi komunikasi internet ini telah melahirkan generasi baru Islam dan menggeser simbol-simbol agama konvensional. Generasi baru Islam di Indonesia dengan cara dan corak berbeda dari generasi yang lahir sebelumnya.
Pengetahuan mereka dari sumber-sumber anonim, seperti internet, seminar, buku, majalah, kaset, CD, VCD, radio, dan televisi. Barang kali karena itulah Kuntowijoyo menyebut generasi netter ini sebagai 'muslim tanpa masjid'.
Teknologi komunikasi dan informasi membuka ruang keberagamaan baru dan mengubah agama. Agama yang disimbolkan dengan bentuk formal masjid, pesantren, kiai, santri, kitab kuning yang berjilid-jilid, lambat laun berubah, dan terus mengalami pergeseran.
Sekarang, dengan seperangkat alat komputer yang dilengkapi dengan internet seorang ekonom, politikus, budayawan, teknolog, dokter, manajer bisa menjadi dan sekaligus berperan sebagai ustadz dalam arti luas.
Dalam ruang keberagamaan yang banyak dipengaruhi new media, segenap manifestasi, fatwa, simbol, doktrin, opini, dan gerak langkah atas nama agama harus siap untuk diperiksa dengan teliti dan dipertaruhkan secara kompetitif dan terbuka.