Sejarah perbudakan yang secara terperinci tercatat, dimulai pada era Yunani Kuno (abad ke-7 SM). Pada masa Yunani Kuno, terdapat dua karakter perbudakan yang berada di dua kota terkemuka, yakni Spartha dan Athena. Kehidupan di kedua kota di Yunani tersebut sangat tergantung pada perbudakan yang diperoleh dari peperangan. Karakter perbudakan di Sparta lebih pada posisi “pelayan dan hamba” bagi tuannya, yang lazim dikenal dengan nama helot –satu predikat yang dilekatkan pada warga dari kota Helos . Posisi mereka adalah warga tidak bebas, artinya sebagai warga yang terikat oleh aturan-aturan khusus. Helot biasa dipekerjakan di sektor pertanian dan menjadi sokoguru perekonomian Sparta. Mereka dijadikan pekerja dan bahkan dalam ritual keagamaan digunakan sebagai persembahan.[8] (PH)
Adzan Pertama
Dalam tulisan Gana Islamika, https://ganaislamika.com/kisah-bilal-bin-rabah-6-adzan-pertama/
disebutkan pada tahun 622 M, orang-orang Islam di Makkah melakukan Hijrah ke Madinah. Hijrah dilakukan secara bertahap selama dua bulan dari sejak peristiwa Baiat Aqabah Kubra.
Baiat Aqabah Kubra adalah peristiwa Baiat terhadap penduduk Yastrib (Madinah) oleh Rasulullah mengenai pengesahan jalinan agama dan militer di bukit Aqabah, Makkah
Setelah semua Muslim berhijrah ke Madinah, yang tersisa di Makkah hanya tinggal tiga orang, yakni Nabi Muhammad SAW sendiri, Abu Bakar as-Shiddiq, dan Ali bin Abu Thalib.
Mereka bertiga menetap di Makkah karena belum mendapat perintah dari Allah SWT untuk berhijrah. Suatu hari datanglah Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dia mengabarkan bahwa perintah berhijrah telah turun, seraya berkata, “janganlah engkau tidur di tempat tidurmu malam ini seperti biasanya.”
Nabi Muhammad SAW kemudian memberi perintah kepada Ali, beliau berkata, “tidurlah di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadhramaut ini.
Tidurlah dengan berselimut mantel itu. Sesungguhnya engkau tetap akan aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan.” Demikianlah Ali menjadi pengganti Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy.
Tengah malamnya, sebelas orang Quraisy hendak melakukan pembunuhan berencana terhadap Nabi Muhammad SAW. Di antara sebelas orang itu terdapat mantan majikan Bilal, yaitu Umayyah bin Khalaf. Atas izin Allah, mereka semua tidak dapat melihat Nabi ketika beliau keluar rumah.
Kemudian mereka masuk ke dalam rumah Nabi hendak membunuh orang yang sedang tertidur yang mereka kira Nabi. Ali kemudian bangkit dari tempat tidur dan langsung dikepung. Mereka bertanya keberadaan Muhammad. Ali menjawab, “aku tidak tahu.”[6]
Singkat cerita, pada akhirnya hampir seluruh Muslim dapat berhijrah ke Madinah, dan dari kota itulah secara perlahan umat Muslim dapat bangkit dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Kembali kepada kisah Bilal bin Rabah, setelah kemerdekaannya, Bilal sangat setia terhadap Nabi Muhammad SAW, ke mana pun Nabi pergi, Bilal selalu mengikutinya.
“Aku, Bilal, budak Umayyah, akan memberitahumu tentang hari-hari yang harus dikagumi, aku ada di sana–dua puluh dua tahun mendampingi—ketika Muhammad, Rasulullah, berjalan di atas muka bumi, aku mendengar apa yang beliau katakan dan melihat apa yang beliau lakukan….” kata Bilal.[7]
Ketika Masjid Nabawi di Madinah selesai dibangun, Rasulullah telah mengambil keputusan akan menggunakan naqus (lonceng) sebagai alat untuk memanggil orang-orang untuk shalat. Namun Rasul sendiri tidak menyukainya karena menyerupai orang Nasrani. Hingga salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih bermimpi, di dalam mimpinya itu dia didatangi seorang laki-laki.
“Laki-laki itu memakai baju hijau di tangannya membawa naqus. Aku bertanya kepadanya, ‘Ya Abdullah, apakah engkau mau menjual naqus itu?’ Orang itu menjawab, ‘akan kau gunakan untuk apa?’ Aku menjawab, ‘untuk memanggil orang buat shalat.’ Dia berkata, ‘maukah aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih baik? Sebutlah Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar…. (diteruskan sampai dengan kalimat Adzan yang kita kenal hari ini).’ Maka aku bangun pagi, lalu pergi kepada Rasulullah. Aku kabarkan kepadanya mengenai mimpi itu. Lalu Rasulullah bersabda, ‘sesungguhnya mimpi itu betul, insya Allah.’…. ,” kata Abdullah bin Zaid.[8]
Kemudian Rasulullah memberikan perintah kepada Abdullah bin Zaid, “dapatkan Bilal dan katakan padanya apa yang telah engkau lihat, ajari dia kata-katanya sehingga dia bisa memberikan panggilan, karena dia memiliki suara yang indah.” Abdullah bin Zaid menemui Bilal dan mengajari kata-katanya.