TRIBUNNEWS.COM - Segala ibadah tak lain untuk menjalankan kewajiban. Lebih dalam daripada itu, ia menjadi ekspresi kesyukuran manusia atas karunia kehidupan.
Melalui ragam ibadah, Allah mengajarkan manusia bagaimana mengungkapkan rasa terimakasih atau segala hal, baik dari sisi pemenuhan materi maupun sisi ketenangan dan ketentraman yang tersembunyi dalam jiwa.
Bagi kaum sufi, ibadah tidak sekadar pemenuhan kewajiban. Ibadah merupakan ekspresi cintanya kepada Tuhan tanpa batasan, sekaligus menjadi hal terpenting yang meliputi diri dan dunianya.
BACA JUGA: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-3-berlapar-lapar-puasa-bersama-al-ghazali/
Tiada hari terlewati dan waktu terlampaui tanpa ibadah. Sehingga ia akan tetap beribadah untuk membuktikan cintanya, tanpa terikat dengan janji pahala dan surga serta ancaman dosa, tak terkecuali ibadah puasa.
Puasa telah menjadi aspek utama dalam rangkain ibadah umat Islam. Tanpa ibadah yang satu ini, keberislaman kita akan dipertanyakan. Ia menjadi tak sempurna.
Sebegitu pentingkah puasa itu, bahkan jauh sebelum ditetapkannya syariat Muhammad, puasa telah menjadi bagian ibadah kaum-kaum sebelumnya, seperti syariat kaum Nabi Nuh as. serta umat Nasrani dan Yahudi.
Lantas ada apa sebenarnya dengan puasa? Memang, puasa secara sederhana sekadar menahan lapar, dahaga, dan kemaluan.
Namun, justru menahan sesuatu itu lebih menyedihkan daripada kebolehan yang kita dapatkan. Larangan mengundang penasaran.
BACA JUGA: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-2-makna-puasa-ala-imam-al-qusyairi/
Semakin dilarang, maka bertambah rasa ingin tahu manusia. Karena selain menahan, puasa sejatinya membunuh ego.
Ego manusia ditekan untuk tidak memenuhi keinginannya, melainkan sebatas mempersiapkan bekal kebutuhan perjalanan puasa hingga magrib menjelang.
Karena itulah, Al-Ghazali menandai ibadah ini dengan satu hadis dari Rasulullah Saw yang menyatakan, “Puasa adalah setengah kesabaran,” yang selaras dengan hadis, “Kesabaran adalah setengah dari keimanan.”
Karena keistimewaanya di hadapan Allah SWT dibanding dengan amalan-amalan lainnya, seperti firman-Nya dalam hadis qudsi, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku akan mengganjarnya secara Pribadi.”