Sebab, di dalam puasa manusia diuji kesabarannya. Sabar dalam menjalani perintah ketakwaan kepada Allah, dan sabar menjalankan larangan.
Karena ketika puasa, hati kita senantiasa berontak mempertanyakan manfaat semua ini. Hati serasa mengajak berdebat tentang arti ibadah ini; Kenapa harus menahan? kenapa tidak boleh melakukan ini dan itu? Kenapa tak boleh makan dan minum; untuk apa dan siapakah ibadah ini? Dan seterusnya.
Dalam konteks ini, Maimun bin Mahran pernah mengatakan bahwa sabar itu ada dua: Sabar atas musibah, dan ini baik sekali.
Akan tetapi, yang paling utama adalah sabar dari perbuatan maksiat. Karena yang terakhir ini pada akhirnya akan memperoleh kemenangan dan kesuksesan. Sementara pelakunya akan mendapatkan jejak-jejaknya di dunia sebelum Hari Kiamat, dan pada Hari Kiamat dia akan memperoleh pahala surga (QS Ali ‘Imran [3]: 200)[2]
Sabar dalam puasa berarti sabar dalam menjalankan takwa sekaligus sabar dalam rangka menjaga diri dari kemaksiatan. Dengan begitu, kita membunuh ego.
Dengan membunuh ego, secara tidak langsung kita telah menjaga hati dari pesakitan. Karena poros segala penyakit tubuh ada dalam kendali hati. Maka tak heran ada ungkapan, “Berpuasalah, maka itu menyehatkan.” Sebab dengan puasa kita mengendalikan aspek lahiriah dan batiniah secara bersamaan. Termasuk mengendalikan ego yang berpotensi menyengsarakan hati.
Seperti disampaikan Robert Frager,[3] di antaranya ego atau hasrat untuk menceritakan ibadah kita kepada orang lain.
Jikalau ibadah lainnya dapat disaksikan oleh orang lain, maka puasa tak ada yang mengetahui kecuali oleh pelaku dan Allah SWT.
BACA JUGA: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-1-tafsir-isyari-al-qusyairi/
Dia pun mengatakan, puasa untuk melemahkan nafs. Nafs mendorong manusia untuk melakukan segala yang mudah, nyaman, atau menyenangkan, daripada yang benar.
Dengan puasa, maka kebutuhan tidak serta merta kita penuhi. Mengendalikan perintah tirani nafsu, untuk memenuhi ketakwaan. Ada jeda, ada masa istirahat dari aktivitas nafsu, dan kesempatan ini menjadikan manusia mampu menaklukkan egonya.
Selain itu, puasa juga menampakkan nafs. Dalam arti, perang batin melawan tirani ego antara membatalkan puasa dan melanjutkannya.
Nafs muncul melalui bisikan-bisikan lembut yang saat demi saat semakin besar. Tidak hanya keinginan untuk berbuka di siang hari, tapi hasrat untuk bergunjing, mencela, dan memaki, serta meluapkan amarah yang mengurangi nilai ibadah puasa kita.
Frager juga menjelaskan bahwa puasa memperkuat tekad dan membangkitkan ingatan terhadap Tuhan. Memperkuat tekad untuk menolak dan memuaskan dorongan makan dan minum.