Dalam Ihya, al-Ghazali menjelaskan tentang kesempurnaan puasa khusus: Pertama, menjaga pandangan (ghadhdhul bashar).
Dalam konteks ini yaitu menundukkan pandangan dan menjaganya dari jangkauan pandangan segala sesuatu yang merendahkan dan dibenci, serta semua yang menyibukkan hati dan melalaikannya dari Allah SWT.
Oleh sebab mata merupakan pihak pertama yang menjadi pintu masuknya segala kebaikan dan keburukan, maka dia menempati urutan pertama yang harus dijaga.
Ketika puasa, kita dianjurkan menjaganya dengan bantuan hati dan pikiran. Mata menahan, hati menguatkan, dan pikiran memberikan kontrol serta memverifikasi antara potensi merusak (mafsadat) atau manfaat.
Melalui mata, segala kemaksiatan bisa terlaksana. Sebaliknya, lewat kontrol mata, kebaikan dapat berlanjut dan kemaksiatan dapat digagalkan.
Seseorang pun dapat mengatur hati dan pikirannya, serta bersikap abai dari pandangan orang lain, pun dari pandangan kita sendiri.
Sehingga ketenangan hati akan kita raih dengan menjaga mata. Dan dengan tenangnya hati maka persoalan kehidupan pun semakin nyaman. Tak ada permusuhan, tanpa gunjingan, tanpa balasan terhadap pandangan keji orang lain.
Karena itu, Nabi Saw mewanti-wanti untuk menjaga pandangan dengan menyebutkan hadis,
“Pandangan adalah panah beracun di antara panah-panah Iblis yang terkena kutukan Allah. Barang siapa meninggalkan pandangan (yang buruk) karena takut kepada Allah, niscaya Dia akan mendatangkan keimanan, hasil olah kemanisan di dalam hatinya.”
Kedua, menjaga lisan. Puasanya lisan, menurut Al-Ghazali, berarti menjaganya dari perkataan yang sia-sia, dusta, ungkapan adu domba, perkataan keji, ucapan yang merusak hubungan, kata permusuhan, dan ungkapan yang mengandung riya.
Demikian sebaliknya, ketika sedang berpuasa dianjurkan untuk berdiam diri serta menyibukkan dengan zikir kepada Allah dan membaca Alquran.[4]
Kenyataan lisan yang tak dapat dicegah lajunya ini segera diinsafi oleh Ibrahim as. dalam doanya, seperti direkam oleh Allah SWT,
“Dan jadikanlah bagiku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian” (QS aasyu-Syu’ara’ [26]: 84).
Ini artinya, lisan memegang peranan penting dalam kehidupan sosial, sehingga seseorang dapat dipercaya atau tidak bergantung dari lisannya. Bahkan gelar “Al-Amin” yang diperoleh Nabi Muhammad Saw dari masyarakatnya tidak lain hasil dari perangainya yang tidak pernah berbohong. Dan beliau pun menempat kebohongan sebagai puncak dari segala dosa “rasu adz-dzunub al-kadzib.”