Dalam konteks kekinian, menjaga lisan dapat dianalogikan dengan tulisan. Tulisan tidak saja mengubah satu pikiran, tapi mampu menembus ribuan pikiran manusia.
Seperti ungkapan Sayyid Qutb, “Satu peluru hanya dapat menembus satu kepala, namun tulisan bisa menembus ribuan kepala.”
Tulisan yang baik bisa mempengaruhi dan menyebarkan kebaikan kepada semua orang. Tapi tulisan yang berisi fitnah, kebohongan, dan kebencian (hate speech) dapat melahirkan dusta dan kebencian yang seterusnya menjadi sesuatu yang dibenarkan.
Ini mengingatkan kita akan pernyataan Paul Joseph Goebbels, seorang menteri propaganda Adolf Hitler yang menyatakan “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada masyarakat. Sebab kebohongan yang diulang-ulang akan membuat mereka percaya.”
Ketiga, mencegah pendengaran dari hal-hal yang makruh. Menurut Al-Ghazali, setiap yang haram diucapkan berarti haram pula mendengarkannya.
Maka dari itu, Allah menyamakan antara orang yang mendengar dengan yang makan makanan haram, seperti firman-Nya: “Mereka orang-orang yang suka mendengar untuk berdusta dan memakan yang haram.” (QS Al-Maidah [5]: 42). Demikian pula firman Allah yang mengonfirmasi para rabi dan pendeta dengan mengatakan, “Mengapa orang-orang alim mereka (rabi), pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan Perkataan bohong dan memakan yang haram?” (QS al-Maidah [5]: 63)
Maka dari itu, Al-Ghazali menegaskan orang yang diam, dalam arti mendengarkan pergunjingan sama halnya sedang mikmati sesuatu yang haram.
Karena sebagaimana sabda Nabi Saw, “Orang yang menggunjing dan yang mendengar itu bekerja sama dalam dosa.” Selayaknyanya kita menghindari dari jebakan pergunjingan di tengah-tengah obrolan kita dengan lawan bicara.
Jangan sampai terjebak dengan tipuan-tipuan halus yang ditiupkan setan, yang biasanya tanpa disadari obrolan kita melukai perasaan orang lain.
Dengan berpuasa, kita sedang mengaktifkan self-control.[5]Upaya ini menguatkan ruhani untuk tidak merusak puasa dan mencederai Ramadan dengan perbuatan-perbuatan rendah yang mungkin biasa dilakukan di luar bulan puasa.
Puasa menjadi tolak ukur olah spiritual sekaligus moral. Mereformasi dan merekonstruksi bangunan psikologis dalam jiwa-jiwa manusia.
Ketika berpuasa kesadaran ketuhanan manusia semakin tinggi, hati selalu terpaut dengan Allah, dan diamini melalui perilaku keseharian.
Menegakkan optimisme, membangun kepercayaan antarsesama dengan tidak melakukan kebohongan, bergunjing, permusuhanan, adu domba, dan menyebarkan berita bohong (hoax).
Artikel ini telah tayang di ganaislamika.com dengan judul: https://ganaislamika.com/puasa-kaum-sufi-5-psikologi-puasa-dalam-ihya-ulumuddin-1/