Untuk menguatkan argumennya tentang terjadinya malam Lailatul Qadr pada malam 27, lagi-lagi Sang Syekh mengambil dalil yang sekaligus simbolisme sufisme tentang angka tujuh.
Sebuah narasi panjang dialog antara Ibnu Abbas dengan Umar bin Khattab ini menegaskan bahwa segala hal berporos pada angka tujuh.
Misalnya, lapisan langit ada tujuh, lapisan bumi ada tujuh, malam-malam tujuh, planet-planet tujuh, bintang-bintang tujuh, sai antara shafa dan marwah tujuh kali, thawaf tujuh kali, lempar jumrah tujuh kali.
Kemudian penciptaan manusia selama tujuh hari, pemberian rezeki tujuh hari, membasuh muka tujuh kali, kata alhamdu dijadikan sebagai pembuka tujuh surat, tujuh bacaan Alquran (sabatu ahruf), dan lain sebagainya yang menyiratkan ragam rahasia angka tujuh.
Selain sebagai petunjuk tentang keajaiban angka tujuh, simbolisme ini identik dengan sufisme yang tidak jarang membubuhkan makna intrinsik.
Hal ini bukan berarti para sufi tidak puas dengan makna lahiriah, tapi makna batiniah ini menunjukkan kekayaan wacana dan penggalian terdalam yang khas hingga menembus batas relung jiwanya.
Makna-makna intrinsik ini bukannya spekulasi yang nihil makna, justru jauh sebelumnya telah didahului oleh para sahabat Nabi Saw, hanya saja kita belum mengetahuinya, menggalinya, atau belum sampai ke sana. Wallahu alam bish shawab
Tulisan ini telah dipublikasikan Gana Islamika dengan judul
Puasa Kaum Sufi (9): Syekh Abdul Qadir Al-Jilani dan Lailatul Qadr