Sudah barang tentu, dengan segala isi dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an tersirat dan tersurat makna pesan-pesan mulia yang membawa petunjuk dan kabar gembira.
Bahkan jika ditelaah lebih jauh, dalam sejumlah ayat ditegaskan, turunnya Al-Qur’an memberi pesan kepada seluruh umat manusia mengenai tiga hal: pertama, ajaran tauhid yang mendeklarasikan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan tidak boleh disekutukan dengan apapun; kedua, Al-Qur’an merupakan petunjuk, pedoman hidup, dan pembawa keselamatan yang harus dipegang teguh oleh manusia; dan ketiga, Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum (syari’at), sangat kaya dengan ilmu dan pengetahuan, serta terpelihara kemurniannya hingga akhir zaman.
Oleh karena itu, Al-Qur’an bukan hanya sekedar kalam Allah (kalamullah) yang tersusun dalam bentuk rangkaian huruf, kata-kata, dan kalimat-kalimat semata-mata sebagaimana dikenal dengan Mushaf.
Baca juga: Contoh Kultum Ramadhan: Puasa Ramadhan Sebagai Wujud Ketaatan dan Peningkatan Kualitas Diri
Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dari segi jumlah ia terdiri atas 114 Surat dan 6666 Ayat, tetapi setiap huruf, kata, dan kalimat dalam Al-Qur’an masing-masing mengandung makna yang teramat dalam.
Selama beberapa dasawarsa, kalangan pemikir muslim berupaya mencari rumusan metodologi yang komprehensif tentang bagaimana memahami teks Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber ajaran Islam. Misalnya, Nasr Hamid Abu Zaid, pemikir kontemporer berpandangan bahwa corak pemahaman teks-teks Al-Qur’an melahirkan paradigma berfikir bahwa teks adalah sesuatu yang “sakral” dan “tabu” dari segala kritik, sehingga memahami teks hanya terbatas pada substansinya dan bukan pada hakikatnya (esensi).
Seringkali muncul pemahaman yang “literalis” terhadap teks-teks ayat Al-Qur’an dan bermuara pada pemahaman yang “dogmatis” terhadap ajaran Islam.
Keadaan inilah yang kemudian mendorong Abu Zaid melakukan telaah mendalam melalui metode hermeneutika terhadap teks-teks Al-Qur’an dalam ranah Ulumul Qur’an.
Abu Zaid juga menjelaskan bahwa konsep wahyu yang ia fahami bukan dalam konteks wahyu yang bersifat umum, melainkan wahyu yang dikenal dalam istilah popular bagi Al-Qur’an, yakni Al-Kitab, Al-Qur’an, Risalah dan Balagh.
Dari situ, ia melihat bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu adalah sekumpulan “teks suci” yang berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui Malaikat dan Rasul-Nya Muhammad.
Ia sama sekali tidak menolak Al-Qur’an sebagai wahyu (teks suci), tetapi kritiknya lebih pada “proses turunnya wahyu” menjadi sebuah teks seperti yang banyak dikenal saat ini.
Berdasarkan pemahaman tersebut, ia berpendapat bahwa wahyu merupakan teks suci yang direkonstruksi dari “proses komunikasi” antara manusia dengan Tuhan.
Ia mengambil sebuah perumpamaan, ketika Muhammad SAW melakukan kontemplasi di Gua Hira sambil menunggu turunnya wahyu, Malaikat datang menghampirinya sambil membimbingnya untuk menerima wahyu. Muhammad berada dalam posisi “ummi” tidak diartikan ia “buta huruf” atau “tidak mampu membaca”, melainkan kesulitan menerima wahyu sebagai sesuatu yang sakral, sehingga ia jadi gemetar dan gagap walaupun wahyu tersebut berbahasa Arab.
Argumen di atas menjawab pertanyaan mengapa Al-Qur’an tidan diturunkan sekaligus.
Dalam beberapa keterangan ayat dijelaskan, turunnya Al-Qur’an terjadi dalam dua tahapan: pertama, Al-Qur’an turun pada malam lailatul qadar pada malam kemuliaan, merupakan pemberitahuan Allah SWT kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malakat akan kemulyaan umat Nabi Muhamad SAW.