TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Mantan wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung yang juga sempat menjadi hakim Tipikor, Setyabudi Tejocahyono, kini menjadi terdakwa kasus korupsi. Bahkan sesuai dengan surat dakwaan jaksa penuntut, Setyabudi terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun penjara atau seumur hidup jika terbukti menerima suap dalam penanganan sidang Tipikor Penyimpangan Dana Bansos Kota Bandung TA 2009-2010.
Hal itu dikatakan jaksa penuntut umum dari KPK, Ali Fikri SH MKn, kepada wartawan seusai persidangan perdananya yang mengagendakan pembacaan dakwaan di luar ruang sidang Tipikor, Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (15/8/2013). "Hukumannya bisa seumur hidup atau penjara 20 tahun karena pasal yang didakwakan berlapis," kata Ali.
Ali menuturkan, Setyabudi didakwa dengan pasal berlapis, yakni tiga dakwaan primer ditambah dengan beberapa dakwaan subsider. Terdakwa bersama dengan hakim anggotanya H Ramlan Comel dan Djodjo Djohari pada bulan April 2012 hingga Januari 2013 menerima uang suap Rp 1.810.000.000 dari Wali Kota Bandung Dada Rosada, Sekda Kota Bandung dan Edi Siswadi dan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Bandung H Herry Nurhayat. Selain itu, terdakwa menerima 160 ribu dolar AS, dan barang perabotan rumah serta fasilitas hiburan di Venetian Spa Launge & Karaoke di Pasirkaliki. "Uang tersebut diserahkan ke terdakwa melalui Toto Hutagalung dan Asep Triana," ujar Ali.
Pemberian uang suap untuk terdakwa yang diberikan oleh Dada Rosada, Edi Siswadi, dan Herry Nurhayat melalui Toto Hutagalung ditujukan agar terdakwa menjadikan putusan kasus tipikor penyimpangan bansos Kota Bandung TA 2009-2010 tidak mengaitkan dengan nama Dada Rosada, Edi Siswadi, dan Herry Nurhayat serta memberikan hukuman yang ringan kepada terdakwa Rochman, Firman Himawan, Luthfan Barkah, Yanos Septiadi, Uus Ruslan, Havid Kurnia, dan Ahmad Mulyana. Pada putusannya ketika itu, terdakwa memutuskan hukuman masing-masing 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta atau diganti hukuman penjara 1 bulan, lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Sesuai dengan fakta pembacaan dakwaan terungkap bahwa awalnya terdakwa minta Rp 3 miliar kepada Toto Hutagalung setelah Toto beberapa kali bertemu dan mengenalkan diri sebagai orang kepercayaan Dada yang ingin meminta kemudahan proses hukuman para terdakwa kasus penyimpangan bansos. Terdakwa juga menyampaikan putusan di PN Bandung akan diatur oleh Ketua PN Bandung Singgih Budi Prakoso, dan putusan di PT Bandung akan diatur oleh Ketua PT Bandung Sareh Wiyono. Ia juga minta Pemkot Bandung membayar kerugian negara sesuai hasil penghitungan BPKP, sebesar Rp 9.440.225.000.
Toto menyampaikan permintaan itu kepada Dada Rosada dan Edi Siswadi. Lalu Dada minta Edi dan Herry untuk memenuhi permintaan itu melalui Toto. Dada juga minta Edi dan Herry untuk mengumpulkan para SKPD agar memberikan sejumlah uang guna pelunasan kerugian keuangan negara.
Uang itu diberikan kepada terdakwa secara bertahap. Pertama Edi memberikan 100 ribu dolar AS melalui Toto. Toto menyerahkan 80 ribu dolar kepada terdakwa di rumah Toto. Uang itu diberikan dalam tiga amplop masing-masing untuk Singgih Budi Prakoso sebagai Ketua PN Bandung, Rina Pratiwi selaku Wakil Panitera PN Bandung, dan satu amplop untuk majelis hakim yakni terdakwa, Ramlan Comel dan Djojo Djohari. Untuk sisa uang pelunasannya, terdakwa mengeluarkan penetapan penitipan uang yang akan dikembalikan ke rekening Rumah Penitipan Barang Rampasan dan Sitaan (Rupbasan).
Selain itu, kata Ali, saat proses persidangannya, terdakwa yang menjadi ketua majelis hakim tipikor juga menerima hadiah dari Dada, Rp 500 juta untuk perubahan status tahanan ketujuh terdakwa dari tahanan penjara di rumah tahanan menjadi tahanan kota. Bahkan terdakwa juga melalui Toto Hutagalung dan Asep Triana menerima 40 ribu dolar AS di depan kantor Jefri Sinaga, Rp 500 juta di Hotel Grand Serella, Rp 300 juta di Villa Ujungberung, 40 ribu dolar AS di kantor PN Bandung, Rp 200 juta di Coffee Shop, Rp 300 juta di rumdin wakil ketua PN, Rp 300 juta, Rp 200 juta di kafe Bali, dan Rp 10 juta untuk pembelian tiket pesawat.
Setyabudi langsung menyela jalannya persidangan kepada majelis hakim sebelum dakwaan dibacakan jaksa penuntut umum. Setyabudi meminta kepada majelis hakim agar surat dakwaan yang akan dibacakan jaksa tidak seluruhnya atau tidak detail.
Permintaan itu diajukan Setyabudi, dengan alasan ia dan penasihat hukumnya sudah menerima surat dakwaannya. Namun majelis hakim yang diketuai Nur Hakim SH meminta Setyabudi mengulang apa yang dikatakannya karena kurang jelas.
Atas permintaan itu, Nur Hakim mengatakan bahwa dibacakan seluruhnya atau sebagian dakwaan, itu adalah hak JPU. Namun sesuai dengan prinsip persidangan itu terbuka sehingga perlu adanya keterbukaan kepada publik. (ddh)