Laporan Wartawan Tribun Lampung Hanafi Sampurna
TRIBUNNEWS.COM, LAMPUNG - Organisasi Buruh International (International Labour Organization; ILO) memperkirakan, sampai tahun 2012, lebih dari 688 ribu anak di Indonesia bekerja sebagai pekerja rumah tangga anak (PRTA).
Padahal, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Batasan Usia Minimum untuk Bekerja dengan menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1999. Ratifikasi lain yang dilakukan adalah, Konvensi ILO Nomor 182 tentang Penghapusan Bentuk Terburuk Pekerjaan Anak melalui penerbitan UU Nomor 1 Tahun 2000.
Konvensi-konvensi tersebut mengamanatkan penghapusan pekerja anak, termasuk PRTA. Sayangnya, realisasi atas konvensi tersebut belum sepenuhnya berjalan di lapangan. PRTA yang berusia di bawah 18 tahun masih ditemukan. Bahkan, 25 persen dari temuan ILO pada 2012, PRTA berusia di bawah 15 tahun.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung Yoso Muliawan, Kamis (5/9/2013) mengatakan, media massa memiliki peran untuk mengubah kondisi keberadaan PRTA. Hal itu dapat dilakukan melalui penyampaian fakta lewat pemberitaan.
"Tujuannya agar pemerintah benar-benar merealisasikan ratifikasi konvensi ILO yang telah dilaksanakan. Meskipun begitu, pemberitaan PRTA memang bukan hal mudah mengingat minimnya informasi mengenai hal tersebut," kata Yoso.
Menyikapi kondisi tersebut, AJI Bandar Lampung berencana menggelar Workshop Jurnalis Meliput Isu Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan PRTA di Wira Garden pada Sabtu (7/9/2013) hingga Minggu (8/9/2013). Bekerja sama dengan ILO Jakarta, AJI Bandar Lampung mengundang 25 jurnalis sebagai peserta workshop.
"PRT dan PRTA merupakan jenis pekerjaan yang masih harus menghadapi berbagai macam kerentanan. Bahkan, PRT umumnya tidak diakui sebagai pekerja karena PRT tidak dianggap sebagai karya nyata," jelas Yoso.
Capacity Building Specialist Promote Project ILO Jakarta Irham Ali Saifuddin menerangkan, Indonesia merupakan pengirim tenaga kerja migran terbesar kedua di Asia Tenggara. Hampir 80 persen di antaranya adalah PRT.
"Pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja merupakan keniscayaan. Sejatinya, mereka adalah pekerja. Bukan sekadar pembantu. Hak-hak normatif PRT sebagai pekerja, seperti batasan jam kerja, pengaturan cuti dan libur, jaminan sosial, dan lain-lain perlu dijamin. Hal itu guna melindungi PRT dari eksploitasi dan kerentanan lainnya," papar Irham.