Laporan Wartawan Tribun Jabar, Tarsisius Sutomonaio
TRIBUNNEWS.COM -- KETERTARIKAN Gita Noviandi, pemilik Gita Stamps, terhadap prangko berawal secara tidak sengaja. Ketika duduk di kelas tiga sekolah dasar (SD), pria kelahiran Kawarang, Jawa Barat, itu tidak sengaja menerima surat dari kakeknya di Ciamis untuk ayahnya.
Di pojok kanan atas amplop surat itu melekat selembar prangko bergambar binatang. Prangko itu mengundang rasa penasarannya mengenai prangko-prangko yang tertempel pada amplop- amplop surat sang kakek sebelumnya.
"Saya minta prangko-prangko ke ayah saya dan mengumpulkannya," ujarnya di sela-sela Pameran Filateli (Kartu Pos) Nasional di Gedung Wahana Bakti Pos, Jalan Banda, Bandung, Kamis (26/9/2013). Hingga 1995, Gita mengoleksi prangko sekadar menikmati gambar-gambarnya.
Pikiran Gita berubah setelah menjadi tukang pasang koleksi-koleksi prangko pada sebuah pameran. Sebagai anggota pramuka aktif, dia pun mulai mengumpulkan prangko bertema pramuka. "Saya ingin menceritakan pramuka, terutama sejarahnya, melalui prangko," katanya.
Sejak 1996, selepas SMA, Gita benar-benar fokus mencari prangko bertema pramuka. Ia mendatangi sejumlah pedagang prangko bekas dan para kolektor prangko. "Saya tak punya modal uang banyak," ujarnya. Karena itu, koleksinya lebih banyak sebagai hasil barter atau tukar.
Sejauh ini, prangko termahal yang ia miliki adalah prangko bergambar Lord Robert Baden Powell, yang dikenal sebagai bapak pramuka dunia. Gita harus membayar Rp 150 juta untuk mendapatkan prangko yang melekat di pojok kanan amplop kecil warna cokelat itu.
Nilai itu merupakan yang termahal yang pernah dia keluarkan untuk memperoleh selembar prangko. Gita enggan melewatkan kesempatan langka itu setelah mencari prangko itu selama sembilan tahun. Menurut Gita, tanpa prangko bergambar Lord Robert Baden Powell, koleksinya jauh dari lengkap.
Karena itu, dia rela merogoh kantong dalam-dalam. "Separuh, saya bayar pakai sistem barter, separuh lagi pakai uang," katanya. Gita membeli prangko dari seorang filatelis Inggris pada 2012 melalui korespondensi.
Gita langsung menyertakan prangko itu dalam koleksinya saat pameran. Tak sia-sia. Namanya pun segera melejit di kalangan filatelis. "Gara-gara prangko itu, nilai koleksi saya naik menjadi 85 (dari nilai tertinggi 100) dan mendapat medali pada pameran dunia 2012 di Jakarta," ujarnya.
Pascapameran itu, harga prangko itu naik dua kali lipat menjadi sekitar Rp 275 juta. Namun, menurut dia, masih ada dua prangko bergambar Lord Robert Baden Powell yang nilainya berlipat ganda dibandingkan prangko yang ia miliki itu.
Pertama, prangko bergambar Lord Robert Baden Powell yang dicap pos pada 9 April 1900. "Prangko itu bernilai mahal karena 9 April 1900 adalah hari pertama prangko bergambar Lord Robert Baden Powell dipakai. Menurut perkiraan, tersisa hanya dua di dunia," kata Gita.
Prangko bergambar Lord Robert Baden Powell yang ia miliki bercap pos pada 12 April 1900. Lebih mahal lagi, ucapnya, kalau prangko bergambar Lord Robert Baden Powell serta suratnya ditujukan kepada Lord Robert Baden Powell.
Selain prangko bergambar Lord Robert Baden Powell, ada dua prangko lagi yang menentukan dalam koleksi prangko bertema pramuka. Pertama, prangko Posta Skauta, yang bercerita soal pengiriman pos tercatat (Einschreiben) ke Kota Praha, Ceko, pada 1918. Surat itu diantarkan seorang anggota pramuka dengan tambahan biaya 20 shilling (mata uang yang pernah digunakan banyak negara seperti Britania Raya, Australia, dan Austria).
Kedua, prangko King Rama yang dicetak tindih. Prangko itu bercerita tentang raja Thailand yang memberikan dukungan dan bantuan bagi pramuka via Funds Pro Siamese Scouthing di Siam, Thailand, pada 1920. Sejauh ini, kata dia, harga dua prangko itu masih di bawah Rp 100 juta.
Selain mengoleksi prangko, Gita pun mengumpulkan foto-foto lawas dan menjadi juri dalam beberapa pameran filateli tingkat nasional, termasuk pada Panfila Bandoeng 2013. (*)