News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kedaulatan Pangan juga Merupakan Soal Political Will

Editor: Budi Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri meneriakan yel-yel merdeka usai penutupan Rakernas III PDIP di Ancol, Jakarta Utara, Minggu (8/9/2013). Satu di antara hasil dari rakernas tersebut adalah target PDIP untuk menguasai 152 kursi di parlemen dalam Pemilu Legislatif 2014 mendatang. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

TRIBUNNEWS.COMĀ  YOGYA,- Masalah kedaulatan pangan di Indonesia menjadi sorotan utama Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, saat berkunjung ke Yogyakarta. Megawati bahkan meminta pendapat dan saran para pakar di beberapa universitas di Yogyakarta, bagaimana agar negeri kaya raya ini mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan.

"Kedaulatan pangan juga merupakan soal political will. Apa yang bisa dibanggakan di negeri ini, sebenarnya pertanian," kata Megawati, saat berdialog dengan beberapa pakar dari beberapa universitas di Phoenix Hotel Yogyakarta, Sabtu (28/9/2013) malam.

Megawati kemudian mengenang, bahwa Bung Karno sebenarnya telah mengatakan pentingnya kedaulatan pangan sejak lama. Namun pemerintah saat ini cukup terlambat untuk merealisasikannya. Akibatnya, pangan di Indonesia justru diperoleh dari import. Beras, kedelai, singkong, dan produk-produk komoditas Indonesia tersingkir oleh barang import. Petani pun terpinggirkan, seolah tidak ada yang berpihak pada petani lokal Indonesia.

Meski negara ini kaya hasil bumi bidang pertanian, ternyata pemerintah selama ini cenderung mementingkan industri. Hasil pertanian pun lebih banyak diserap untuk industri. Guru Besar Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto mencontohkan, 76,6 persen kedelai lebih banyak diserap industri.

"Tapi pemerintah telat dan lamban mengantisipasi. Jagung saja sekarang harus import. Petani yang teriak, yang untuk konsumsi kurang," kata Dwijono.

Apalagi jika bangsa ini masih tergantung pada fluktuatif pasar global, Indonesia ibarat tinggal menunggu lonceng kematian. Dwijono mengutip pernyataan Bung Karno, bahwa pangan merupakan persoalan hidup dan mati bangsa. Maka jika tidak dipenuhi berarti matinya bangsa. Sebab itu, pangan merupakan hak bagi warga negara dan menjadi pertahanan terakhir negara.

Kenyataannya, pangan saat ini kerap sekadar menjadi komoditas politik. Rektor UII Prof Edi Suwandi Hamid menilai, pangan pun bisa menjatuhkan rezim. Kapasitas Indonesia untuk mengendalikannya masih rendah. Maka menurutnya menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa kebutuhan pangan harus bergantung negara lain atau import?

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM Prof Dr Moch Maksum Machfoedz dalam dialog itu menegaskan, ketergantungan dari negara lain kerap menjadikan bangsa ini krisis pangan. Misal krisis kedelai karena terjadi penghapusan suplay import. Dia curiga hal itu merupakan skenario pelangkaan kedelai.

Jika demikian, sebenarnya penting untuk dikembangkan budaya cinta produk domestik. Rektor UAJY Dr R Maryatmo MA memberikan contoh, tempe yang terbuat dari kedelai dalam negeri sebenarnya lebih gurih dibanding tempe berbahan kedelai import.

Pengajar SMP 1 Banguntapan, Titik Sunarsih menambahkan, selain semangat cinta produk domestik, perlu juga penambahan sarana pertanian secara besar-besaran. Tidak menutup kemungkinan pula pertanian disesuaikan dengan industri. Jika perlu, industri harus mendukung pertanian. Kalau semua lahan untuk industri, petani kini adalah petani gurem yang tak punya lahan.

"Mereka akhirnya akan pilih jadi buruh pabrik. Saya tahu murid saya saja tidak ada yang bercita-cita jadi petani karena petani dianggap tidak menjanjikan," kata Titik.(ose)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini