TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Murnadi Pasaribu, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kabupaten Mandailing Natal (Madina) mengungkap curhat bosnya, Bupati Madina, Muhammad Hidayat Batubara, sebelum ditangkap tim KPK, 15 Mei lalu.
Curhat Bupati Hidayat itu disampaikan lewat telepon maupun setelah bertemu langsung di rumah pengacara Hamdani Harahap di Kompleks Veteran, Lau Dendang, Percut Seituan.
Curhat ini diungkapkan Murnadi saat bersaksi untuk terdakwa Surung Panjaitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan Rabu (2/10/2013).
Keterangan Murnadi ini mematahkan alibi Bupati Hidayat yang selalu kukuh menyebut Rp 1 miliar yang diterima dari kontraktor Surung sebagai pinjaman saja.
Kemarin, Pengadilan Tipikor Medan gelar tiga sidang perkara dugaan korupsi pembangunan RSUD Panyabungan. Pertama sidang perdana terdakwa Hidayat Batubara, lalu disusul sidang perdana terdakwa Khairul Anwar, dan terakhir sidang lanjutan terdakwa Surung Panjaitan.
Usai menjalani sidang, terdakwa Hidayat sempat menonton Murnadi yang memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Surung.
Murnadi menyebut Bupati Hidayat mengaku menyesal karena telah menerima uang Rp 1 miliar dari pengusaha Surung Panjaitan dan merasa dijebak.
"14 Mei siang, saya ditelepon Bupati. 'Nggak ada lagi uang di rumah. Kasihkan dulu Rp 20 juta untuk uang belanja'," kata Murnadi menirukan percakapannya dengan Hidayat.
Tim KPK menggelah rumah Hidayat di Jl Sei Asahan No 76, Kelurahan Padangbulang, Medan Baru, 14 Mei, sehari sebelum
adik Ketua Kadin Sumut itu diamankan tim KPK.
Tim KPK mengamankan uang Rp 742.238.300, uang pecahan dolar Amerika sebesar 26.600 dolar AS dan uang Rp 990 juta dalam dua kantong plastik hitam, yang diduga sebagai gratifikasi yang diberikan Surung Panjaitan. Jumlahnya berkurang Rp 10 juta karena diambil oleh sang kurir, Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Khairul Anwar Daulay.
Saat bersaksi untuk terdakwa Surung sebelumnya, Hidayat mengakui uang Rp 742.238.300 dan 26.600 dolar AS adalah milik istrinya.
Murnadi mengatakan Hidayat yang punya pemasukan Rp 80 juta setiap bulan sebagai bupati, juga meminta agar dokumen tentang dana Bantuan Daerah Bawahan (BDB) diamankan dari penggeledahan KPK. Ia dan anak buahnya di Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Madina tidak mengerti berkas apa yang harus diamankan dari KPK sehingga perintah atasan itu pun diabaikan saja.
Setelah ditelepon Hidayat, Murnadi tetap berangkat ke Medan untuk menjumpai atasannya. Namun, Hidayat tidak ada di rumahnya. Uang pun diserahkan ke istrinya. Mereka akhirnya bertemu di rumah pengacara Hamdani Harahap di Kompleks Veteran, Lau Dendang, Percut Seituan.
Kepada hakim, Murnadi mengatakan, pada waktu itu Hidayat curhat tentang gentingnya situasi. "Apa betul bupati bilang menyesal menerima uang Rp 1 miliar dari Khairul?" kata hakim Agus Setiawan.
"Betul, Pak. Pak Bupati menyesal menerima uang itu dan merasa dijebak," kata Munardi.
Keterangan Murnadi menguatkan dakwaan jaksa penuntut yang menilai uang Rp 1 miliar dari Surung Panjaitan akan digunakan sebagai dana pengurusan ke Pemprov Sumut agar dana Bantuan Daerah Bawahan yang dipakai untuk proyek pembangunan di RSUD Panyabungan itu segera cair.
Menurutnya, sejak awal tahun Bupati memang menyuruh Plt Kadis Pekerjaan Umum Khairul Anwar Daulay untuk menyiapkan dana "eksistensi". Istilah yang berarti berkoordinasi dengan pejabat di Pemprov untuk menyelaraskan APBD Sumut dengan APBD Madina itu disebut secara berbeda. Tim pengacara Surung menyebutnya "asistensi".
Namun dalam sidang perdananya, terdakwa Hidayat tidak menunjukkan penyesalan seperti yang dilukiskan Murnadi. Usai pembacaan dakwaan, Bupati Madina 2011-2016 ini tetap kukuh mengakui uang Rp 1 miliar yang diterimanya dari Surung dua hari sebelum ditangkap KPK adalah utang. Pengakuan ini sudah pernah disampaikannya saat menjadi saksi kasus dengan terdakwa Surung Panjaitan sepekan silam.
"Saya merasa itu pinjaman saja uang dari Khairul Anwar (Plt Kadis Pekerjaan Umum Madina) itu," katanya.
Mengenakan batik putih gading didampingi empat dari 11 anggota tim kuasa hukum yang dipimpin Refman Basri, Hidayat didakwa melanggar pasal 12 huruf (a) tentang larangan menerima gratifikasi dan pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hidayat terancam dihukum maksimal lima tahun. Dakwaan yang sama juga dikenakan kepada Plt Kadis Pekerjaan Umum Khairul Anwar Daulay.
Hidayat menyatakan tidak keberatan atas dakwaan jaksa penuntut dari KPK. Ia justru meminta hakim melanjutkan agenda sidang.
"Lanjut saja majelis," katanya saat ditanya ketua majelis Agus Setiawan usai pembacaan dakwaan.
Namun, jaksa penuntut umum mengaku belum menyiapkan saksi dan meminta sidang ditunda sepekan. Tim pengacara Hidayat sempat mengajukan permintaan untuk mengganti jadwal persidangan berikutnya menjadi Kamis karena beberapa anggota tim kuasa hukum berhalangan hadir pada Rabu.
Namun, majelis hakim menolak permintaan itu dan hanya menjanjikan akan mengevaluasi jadwal sidang apabila untuk ke depan tiga persidangan dengan tiga terdakwa kasus suap gratifikasi, pengusaha Surung Panjaitan, Bupati Hidayat, dan Plt Kadis Pekerjaan Umum Khairul Anwar tidak cukup dilaksanakan dalam satu hari.
"Anggota timnya kan ada 11. Jadi kalau ada yang nggak datang beberapa kan tidak ada," katanya.
Usai persidangan, Hidayat tidak banyak berkomentar. Ia hanya tersenyum dan masuk ke ruang tunggu diiringi beberapa pengawalnya. Namun, di ruang tunggu yang sempit itu, ia tidak dapat lagi menghindari sorotan kamera fotografer karena ruang tersebut disekat dengan kaca. Ketika masuk kembali ke ruang sidang untuk menunggui tim jaksa penuntut yang sedang meminta keterangan saksi kasus Surung Panjaitan, Hidayat pun terus diikuti oleh fotografer. Ia pun akhirnya tak ambil pusing lagi.
Setelah merokok di ruang tunggu dan mengobrol dengan rekan-rekannya, Hidayat mampir sebentar ke ruang sidang menonton bawahannya di Pemkab Madina, Murnadi Pasaribu ditanyai oleh hakim.
Lulusan STPDN itu mengaku, Maret 2013, sebelum muncul nama kontraktor seperti Leonard Sihite dan Surung Panjaitan, Bupati pernah memintanya menjembatani perusahaan BUMN, PT Nindya Karya dengan Pemprov Sumut untuk mendapatkan proyek pembangunan di RSUD Panyabungan yang bersumber dari dana BDB di APBD Sumut 2013.
"Saat itu, kami menemui Kasubbag Anggaran Biro Keuangan Setda Provsu, Pak Fuad (Perkasa). Dan, PT Nindya Karya dimintai uang Rp 500 juta-Rp 1 miliar. Namun, karena proyek itu harus itu dibagi dalam tiga paket pekerjaan dan nilai satuannya tidak mencapai Rp 25 miliar, PT Nindya Karya menyatakan mundur. Sementara, PT Nindya Karya sesuai ketentuan hanya bisa mengerjakan proyek bernilai Rp 25 miliar ke atas. Selain itu Nindya Karya juga tidak bisa menyanggupi permintaan Rp 500 juta-Rp 1 miliar itu," bebernya.
Pascamundurnya PT Nindya Karya, Munardi tetap menjaga komunikasi dengan Pemprov Sumut melalui Fuad Perkasa. Ia kembali menemui pejabat Pemprov Sumut itu di Hotel Tiara Medan pada 13 Mei 2013 untuk mengurus status proyek di RSUD Penyabungan yang sempat dibatalkan secara sepihak oleh Pemkab Madina.
Ia bermaksud menyerahkan uang sebesar Rp 60 juta untuk keperluan pengurusan dana BDB yang diterima Pemkab Madina. Namun, menurutnya, Fuad Perkasa menolak uang tersebut dan meminta agar dia menyiapkan berkas-berkas terlebih dahulu.
"Pak Fuad bilang nggak usah pikirkan soal uang dulu. Siapkan saja berkas-berkasnya. Apalagi, katanya, mereka sedang diperiksa Tipikor Polda Sumut," ujar Munardi.
Uang Rp 60 juta yang ia pinjam dari rekan sejawatnya, Khairul Anwar Daulay alias Pak Juragan itu tidak langsung dikembalikan. Uang itu justru dipakai untuk uang pengamanan demonstrasi di Madina, biaya pencitraan Bupati Hidayat di koran-koran, dan sumbangan kepada unsur pimpinan daerah (Uspida) setempat.
Kuasa hukum Surung Panjaitan, Junimart Girsang menyatakan proyek pembangunan di RSUD Panyabungan hanyalah proyek ecek-ecek.
Menurutnya, indikasi proyek palsu itu dapat diambil dari keterangan saksi yang maju setelah Munardi, yaitu Kepala RSUD Panyabungan drg Bidasari yang menyatakan sejak tahun 2008 rencana kerja anggaran (RKA) proyek pekerjaan Unit Gawat Darurat, Unit Poliklinik, dan Unit Rawat Inap rumah sakit plat merah itu sudah gentayangan di Pemkab Madina.
"Pertanyaannya, kenapa 2008 tidak jadi, 2009 tidak jadi, 2010 tidak jadi, tiba-tiba muncul lagi 2012? Ini ada apa? Sejujurnya, proyek ini main-main. Dibuat untuk membuka peluang bagi para Kadis mencari mangsa. Ini (Surung Panjaitan) korban!" katanya.
Sampai Rabu sore, Pengadilan Negeri Medan belum menerima surat Pemprov Sumut terkait status Bupati Mandailing Natal Muhammad Hidayat Batubara yang sudah menjadi terdakwa kasus korupsi dan menjalani sidang perdana.
Humas Pengadilan Negeri Medan Nelson Marbun saat dihubungi Rabu sore mengaku telah memastikan itu ke Panitera Muda Tipikor di Pengadilan Negeri Medan.
"Saya sudah tanya ke Panmud (Panitera Muda)Tipikor, katanya belum ada," ujarnya.
Menurut Marbun, meskipun peraturan mewajibkan seorang kepala daerah harus non aktif dari jabatannya jika terlibat kasus hukum, pengadilan tidak berkewajiban menyurati Pemprov Sumut untuk mengabari seorang kepala daerah sedang menjalani persidangan. Pemprov dan Gubernur selaku pejabat dekonsentrsi yang mengurus penonaktifan kepala daerah yang harus berinisiatif menanyakan ke pengadilan.
"Itu yang kami tunggu. Kalau ada pertanyaan, nanti Ketua (Pengadilan) akan menanggapi," ujarnya.
Kepala Biro Otonomi Daerah Pemprov Sumut Jimmy Pasaribu mengatakan, anak buahnya sudah bertolak ke PN Medan dan menyerahkan surat pertanyaan status Hidayat Batubara. "Sudah diantar staf kami tadi. Mungkin belum diterima," katanya.(Liston Damanik)