Laporan Wartawan Pos Kupang, Jumal Hauteas
TRIBUNNEWS.COM, KEFAMENANU - "Kami minta masyarakat Leolbatan, Distrik Oekusi, Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) menghentikan aktivitas berkebun di wilayah Indonesia. Kembalikan sapi-sapi kami, perbaiki kembali pilar batas dan kuburan orang tua kami yang sudah rusak. Tutup jalan yang melintasi wilayah Indonesia."
Demikian tuntutan tokoh-tokoh masyarakat Dusun Nelu, Desa Sunsea, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), saat ditemui Pos Kupang (Tribunnews.com Network) di Nelu, Jumat (18/10/2013).
Tokoh masyarakat tersebut, antara lain Petrus Lasi (72), Mikael Tae Kolo (50), Petrus Oematan (75), Marsel Teme (82) dan Ketua LKMD Desa Sunsea, Pius Salu (49).
Tuntutan para tokoh masyarakat tersebut sebagai syarat untuk perdamaian dengan warga Leolbatan, Distrik Oekusi-RDTL. Karena menurut para tokoh masyarakat itu, apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat Leolbatan telah mencederai nota kesepahaman antara kedua negara sepengetahuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2005 tentang penetapan batas kedua negara.
"Kalau nanti ada pertemuan untuk bicara damai, saya punya satu pertanyaan yang perlu mereka (warga Leolbatan) jawab, yakni apakah mereka sudah terlalu rindu dengan kami, sehingga mereka melakukan semua ini kepada kami. Apakah kami sudah sangat benci dengan mereka, sehingga kami tidak membuat kekacauan dengan mereka," tegas Marsel Teme.
Pernyataan Marsel Teme merupakan ungkapan kekesalan yang sangat mendalam atas apa yang sudah dilakukan oleh warga Leolbatan terhadap warga Nelu.
Marsel Teme mengaku bahwa bagi warga Nelu, warga Leolbatn itu adalah saudara-saudara dari warga Nelu. Sebab, sudah ada kawin-mawin yang sangat banyak diantara kedua warga kampung beda negara ini.
"Waktu tahun 1975 saat pecah perang diantara mereka (Fretelin vs Besi Merah Putih saat itu), Fretelin mengejar mereka sampai ke tempat pekuburan saat ini, sehingga kami mengamankan mereka ke sini (Nelu) selama setahun penuh tanpa melakukan tindakan kejahatan terhadap mereka. Bahkan ada orang tua mereka yang meninggal di sini, dikuburkan di sini. Tetapi mengapa mereka saat ini datang membuat keonaran dengan kami, apakah yang kami lakukan terhadap mereka tahun 1975 itu telah menyakiti hati mereka,?" tanya Teme.
Untuk itu, Teme dan tokoh masyarakat yang ada di Nelu menegaskan, semua syarat yang disampaikan oleh warga Nelu harus dipenuhi oleh warga Leolbatan yang sudah memulai pertikaian diantara warga dua negara ini selama empat hari, sejak Senin (14/10/2013) hingga Kamis (17/10/2013).
Pertikaian itu mengakibatkan beberapa warga Leolbatan menderita luka berat terkena lemparan batu, dan 19 ekor sapi warga Nelu dicuri warga Leolbatan.
Mikael Tae Kolo menambahkan, kesepakatan tahun 2005 yang menetapkan kawasan sepanjang 50 meter dari pilar batas ke arah wilayah Indonesia sebagai zona bebas juga tidaklah adil bagi Indonesia. Sebab zona bebas itu hanya ada pada wilayah Indonesia, tetapi tidak ditetapkan zona bebas di wilayah RTDL.
"Harus diubah untuk ada zona bebas di wilayah kedua negara baru namanya ada keadilan. Karena akibat hanya ada zona bebas di wilayah Indonesia, mereka menganggap bahwa batas yang sesungguhnya adalah pada plang titik akhir zona
bebas. Padahal itu sudah berada wilayah Indonesia," tegas Kolo.
Kepala Staf Korem (Kasrem) 161/Wirasakti Kupang, Kolonel (Inf) Agus YR Agustinus, saat bertatap muka dengan puluhan warga Nelu, Jumat (18/10/2013) menegaskan, masyarakat sedapat mungkin menahan diri untuk tidak terlibat dalam peperangan, karena peperangan hanya akan menimbulkan jatuhnya korban dari kedua belah pihak, yang kemudian meninggalkan rasa dendam dan amarah.
"Jangan sampai terjadi saling serang lagi, karena masalah perbatasan antarnegara adalah urusan presiden kedua negara. Kita masyarakat di daerah jagalah diri masing-masing. Karena Tuhan Yesus juga akan marah dan tidak suka dengan yang namanya konflik," tegas Kolonel Agus.
Untuk menjamin tidak ada lagi pemicu konflik diantara kedua kelompok masyarakat dua negara ini, Kolonel Agus bersama Dandim 1618/TTU, Letkol (Arm) Eusebio Hornai Rebelo, dan sejumlah petinggi Kodim 1618/TTU melakukan peninjauan langsung ke lokasi pemicu konflik dan meminta kepada petugas keamanan RDTL untuk mengendalikan dan memastikan warga tidak lagi mengolah lahan pertanian yang sudah dibuka sebelum ada kesepakatan batas kedua negara secara jelas oleh pemerintah kedua negara.