Laporan Wartawan Surya Aji Bramastra
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Tidak semua pasien bisa diterima dalam operasi vagina repair, yang kini marak dilakukan kaum perempuan di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Ini yang kerap membuat pasien dan keluarganya menangis sesenggukan.
Sebut saja Rani, nama gadis berjilbab itu. Perempuan yang usianya belum genap 25 tahun itu, datang seorang diri ke sebuah rumah sakit.
Tak ada yang menduga bahwa di balik jilbab dan air wajah yang tenang itu, tersimpan kegundahan. Di tempat itu, Rani berharap bisa membeli keperawanannya kembali.
Di depan dokter Djoned Sananto yang menerimanya, Rani menangis sesunggukan. Ia berharap dokter bedah plastik terkemuka ini membantu mengatasi masalah yang membelitnya.
Rani tumpahkan masalah itu. Ia percaya seratus persen bahwa dr Sananto bisa menutup rapat rahasia yang selama ini menggelisahkannya; keperawanan hilang akibat direnggut sang pacar.
Bagi Rani, itu masalah besar. Apalagi pacar yang telah merenggutnya itu pergi mencampakkanya. Ia khawatir hilangnya keperawanan akan akan menjadi perusak rumah tangga bila suatu saat ia menikah.
Banyak cerita seputar perceraian setelah malam pertama terus menghantuinya. Rani shock berat dan nyaris kehilangan harapan.
"Dia sangat putus asa. Kalau sudah begini, apa iya saya tega untuk tidak menolong," kata dr Sananto.
Pernah juga seorang ibu, sebut saja Ny Ida (nama samaran) bersimpuh di depannya. Ia datang membawa putrinya. Sambil menangis, Ny Ida memohon agar Sananto bersedia mengembalikan selaput dara putrinya.
Ny Ida sendiri khawatir shock putrinya berlanjut bunuh diri atau gila. Diceritakan, sang putri telah kehilangan keperawanan. Perenggutnya calon suami sendiri. Calon suami yang sebenarnya tinggal menunggu hari untuk dinikahkan.
Sayang, belakangan diketahui calon mempelai putra itu sudah beristri. Pernikahan dibatalkan. Hati Ny Ida hancur. Ia khawatir, apalagi setelah melihat anaknya shock berat karena sudah kehilangan keperawanan.
"Yang datang ke sini, bukan saja ibunya (Ny Ida). Bapaknya, sampai neneknya kemudian datang. Semuanya nangis takut masa depan anaknya," sebut dia.
Dokter yang pernah mengabdi selama lima tahun di desa terpencil di Nusa Tenggara Barat ini mengakui, seringkali menemui dilema setiap kali menerima pasien reparasi selaput dara.
Ia tidak mau begitu saja menerima. Ia khawatir menerima operasi selaput dara, akan memicu kecenderungan remaja pada seks bebas.
"Tapi, di sisi lain, sebagai dokter, kami punya rasa kemanusiaan. Dari semua motivasi kami bekerja, yang paling utama adalah untuk menolong orang," ujar Sananto.