Tribunnews.com - Gedung percetakan di Jl Pulo Wonokromo ini merupakan saksi perjalanan ludruk di Surabaya. Sebelum berisi mesin percetakan, gedung itu merupakan gedung pementasan ludruk. Inilah gedung pementasan ludruk terakhir di Surabaya.
“Terakhir pakai tempat ini tahun 2010. Sekarang pindah ke THR (Tamah Hiburan Rakyat),” tutur Nur Hadi, Senin (20/1/2014).
Pria 57 tahun ini merupakan satu-satunya personel ludruk yang masih tinggal di gedung ‘kenangan’ tersebut. Ia melanjutkan hidup dengan menjadi penjahit di dua lapak sewaan.
Mereka terpaksa meninggalkan gedung yang mereka huni sejak tahun 1990 silam itu. Pasalnya, uang hasil pentas tidak cukup untuk membayar sewa.
Di THR mereka berkumpul di para pegiat kesenian rakyat yang lain. Ada pegiat wayang orang, ketoprak dan lain-lain.
Di gedung THR ini mereka tidak dipungut biaya sewa. Di situ mereka boleh tinggal dan manggung. Begitupun dengan kesenian rakyat lain yang lebih dulu menghuni tempat itu.
Dedeb Irawan, pimpinan ludruk Irama Budaya mengaku beruntung mendapatkan tumpangan gratis. Sebagai kompensasi, kelompoknya diminta ikut berusaha menghidupkan THR yang juga sudah lama ditinggal pengunjungnya. ”Kami diminta tampil sekali dalam seminggu. Pertunjukan itu pakai biaya kami sendiri, untung rugi kami tanggung,” ujar Deden Irawan (33), pimpinan Irama Budaya.
Kebijakan gratis itu juga diterima semua pegiat seni rakyat di kawasan yang dikelola Pemkot Surabaya itu. Namanya gratis, mereka juga tidak pernah nenuntut, meski kondisi gedung itu juga semakin usang.
Kompleks kesenian rakyat tersebut terlihat kurang terawat. Di sana sini terlihat cat mengelupas. Malah beberapa tembok bolong, cukup ditambal dengan triplek.
Ruang pertunjukan ludruk juga jauh dari mewah. Lembab dan bau pesing menyambut setiap orang yang masuk. Bau itu berasal toilet kumuh di samping ruang pertunjukan.
Di gedung ini, pengunjung cuma dimanjakan deretan kursi tua. Kursi warna hijau yang sudah pudar warnanya. Juga sudah tak empuk lagi. Malah sudah rusak. Kursi - kursi rusak itu dicopot dari besi penyangganya dan diganti kursi plastik.
Ruang pertunjukan ini sekaligus menjadi tempat tinggal darurat. Bila tidak ada jadwal show, panggung utama ludruk disulap jadi dipan tidur buat mereka.
Denyut kesenian di THR, yang agak terasa berada di Gedung Pringgodani. Bangunan ini dipakai untuk pertunjukan wayang orang dan ketoprak.
“Sekarang gedung ini ramai digunakan latihan dan pementasan wayang orang atau ketoprak. Mahasiswa-mahasiswa kalau belajar wayang orang, ketoprak, sampai karawitan, ya di sini. Masih cukup banyak jumlahnya,” aku Sugeng Wiyono, atau yang lebih akrab dengan nama Pak Progo, penjaga di tempat itu.
Kondisi THR sekarang dan dulu, kata Progo memang bagai langit dan bumi. “Sebelum tahun 90-an, siang-siang begini, tiket nonton ketoprak sudah habis ludes meski mainnya baru nanti malam. Tapi sekarang, orang lebih suka nonton televisi dengan segala pertunjukannya yang melecehkan budaya kita,” keluh Sugeng, menunjuk acara ketoprak humor yang ditayangkan salah satu stasiun televisi asal Jakarta.
Progo sendiri mengakui minat masyarakat menikmati kesenian rakyat mulai redup. Tak hanya imbas dari televisi swasta. Menurutnya, keputusan pemerintah membangun mal di depan THR, jadi alasan terbesar terbunuhnya para pahlawan seni rakyat di THR.
Menurutnya, para seniman THR kini tak jelas nasibnya.
Pemerintah tidak membunuh mereka, lantaran tetap mengizinkan tetap tinggal dan tampil di THR. Tapi, juga tidak memberi kehidupan. “Sejak ada mal di depan, kompleks seni jelas jadi tertutup. Bagaimana warga tahu di sini ada kami?” kata Progo.