TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Pengadilan Negeri Makassar menjadwalkan eksekusi lahan sengketa yang dimenangkan oleh Kodam VII Wirabuana di Jalan Sungai Saddang Lr 7, Kelurahan Pisang Selatan, Kecamatan Ujungpandang, Senin (27/1/2014).
Namun, 375 jiwa yang mendiami lahan seluas 2.180 meter persegi itu melakukan perlawanan dengan bersenjatakan bambu runcing.
Saat ini, warga tengah memblokade Jalan Sungai Saddang yang tidak jauh dari rumah jabatan Gubernur Sulawesi Selatan. Jalan sudah dipalang dengan bambu dan dipasangi ranjau dari kulit durian yang berserakan di aspal.
Selain itu, nampak pecahan batu juga berserakan di aspal. 375 jiwa dari 87 kepala keluarga yang menghuni 48 rumah di lahan sengketa dengan Kodam VII Wirabuana menggelar aksi demonstrasi berbekal bambu runcing.
Rata-rata pendemo kaum perempuan dan anak-anak ini siap mempertaruhkan hidupnya melawan eksekusi dilakukan Pengadilan yang dikawal aparat kepolisian dan TNI.
Rencananya, eksekusi dilakukan pukul 07.30 Wita, namun hingga pukul 09.30 Wita tim eksekusi belum datang. Nampak puluhan intel dari kepolisian dan Kodam VII Wirabuana berada di sekitar lokasi eksekusi dan aksi demonstrasi.
Demikian pula, aparat kepolisian dari Polsekta Ujungpandang berseragam lengkap sibuk mengalihkan arus lalulintas ke jalan alternatif di Jalan Batu Putih.
Warga pun membentangkan spanduk, mereka siap meninggalkan lokasi asalkan direlokasi. "Kami butuh Relokasi". Begitulah tulisan di spanduk yang dipasang di palang jalan.
Menurut kuasa hukum warga Sungai Saddang, Frans mengatakan, sebelumnya tanah tersebut milik Tanbaw Maatschappi Mardekayya Lareangbangi yang kemudian dikuasai oleh perusahaan asing seluas 52 hektar hingga 72 hektar.
"Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 58 dari perusahaan asing kemudian jatuh menjadi tanah negara yang ditetapkan oleh Menteri Agraria. Selanjutnya, Tanbaw diberi hak guna bangunan menempati tahan tersebut hingga kini yang lamanya sudah puluhan tahun. Pada tahun 1965, Muh Saleh Lawa mengklaim tanah tersebut miliknya dan menghibahkan ke Kodam VII Wirabuana yang kemudian dibangun wisma Sagara. Meski begitu, warga pun masih menempati lahan tersebut," jelasnya.
Frans menambahkan, selama ini pula warga terus membayar pajak Rp 100 sampai Rp 150 ribu kepada Puskopat Kodam VII Wirabuana.
"Warga tidak tinggal gratis, mereka bayar terus pajak ke Koperasi nya Kodam. Setelah sengketa ini, warga kemudian menghentikan membayar pajak hingga eksekusi pun akan dilaksanakan," kata Frans. (kompas.com/hendra cipto)