Perjuangannya menggratiskan ilmu organiknya kepada siapa saja yang mau belajar dia berikan dengan tulus. Sistem bertani secara organik juga dia kampanyekan. Cari untung bukan tujuan utamanya. "Kalau petani mau ikutan bertanam secara organik, itu sudah jadi kesenangan bagi saya," ujarnya.
Nur Yasin sedang membuat pupuk cair organik. Gubuk tempatnya bikin pupuk (kanan).
Ramah Lingkungan, Hasilnya Lebih Banyak
Nur Yasin merasakan sendiri, sayuran dari sistem pertanian organik tak hanya baik bagi kesehatan tapi juga terbukti lebih produktif hasilnya.
Contohnya, dulu ia hanya bisa memanen 40-50 ikat kangkung sehari dari sebidang tanah di depan rumahnya saat masih memakai pupuk kimia. Tapi begitu berganti ke pupuk organik, hasilnya meningkat menjadi rata-rata 70 ikat per hari.
Keuntungan lain, sekali menebar pupuk organik, maka di atas lahan tersebut bisa dipakai 3-4 kali menanam sayuran, tanpa harus menebar lagi pupuk saat sebelum masa tanam.
Ini yang membedakan dengan pertanian non organik. Pupuk harus ditebar di atas lahan setiap sebelum ditanami. Artinya, pemakaian pupuk kimia semacam urea atau TSP sebenarnya lebih boros pengeluaran dibanding organik.
Pria sederhana yang baru setahun menikah ini makin jatuh cinta pada pertanian organik setelah mengetahui sayuran kangkung, kacang, cabe (lombok), terong, dan melon, membuahkan hasil sesuai harapan.
Sayuran terong dan cabe, misalnya, sudah bisa dipanen tiap tiga bulan sekali. Setelah dipanen, cabe dan terong juga terus berbuah untuk dipanen tiga bulan berikutnya.
Sayuran kacang, lebih cepat panennya. 40 hari sudah bisa dipetik hasilnya. Dari hasil kebunnya, Nur Yasin dan istri nyaris tak pernah berbelanja kebutuhan menyangkut pangan keluarga. Semua bisa dipenuhi dari karunia Tuhan lewat alam sekitar. Ia tak
pernah mengeluh, apalagi mimpi muluk-muluk, mencari-cari pekerjaan di sektor formal dengan penghasilan gede.
"Asal sayuran di kebun tumbuh subur, saya merasa sudah bergaji. Yang penting bisa menghidupi keluarga," tuturnya.
Restorasi Penghidupan Kawasan Pesisir