TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Hukuman pancung dalam mekanisme hukum di Arab Saudi kerap dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab. Makelar-¬makelar pun bermunculan.
Sinyalemen itu diungkapkan Kepala UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P3TKI) Surabaya, Agus Heri Santoso di Bangkalan beberapa waktu lalu.
Ketika itu, sedang muncul isu santer, permohonan diyat untuk Siti Zainab mencapai Rp 90 miliar.
“Situasi ini (pembayaran diyat) dimanfaatkan oleh makelar di sana (Arab Saudi). Pemerasan dilakukan karena masyarakat Arab Saudi yakin berapapun uang yang diminta sebagai uang darah akan dipenuhi pemerintah Indonesia,” katanya.
Parahnya, makelar itu juga muncul di Tanah Air. Hal itu diungkapkan M Cholili, Direktur Migrant Aid Indonesia.
Menurutnya, mekanisme uang diyat sebagai pengganti hukuman pancung di Arab Saudi, kerap dimanfaatkan para makelar kasus.
Mereka menyusupi organisasi-¬organisasi dan lembaga yang peduli pada isu¬-isu perlindungan dan pendampingan TKI bermasalah.
Sepanjang yang ia ketahui, makelar diyat paling banyak tersebar di Jawa Barat.
Kendati demikian, di Jawa Timur juga beberapa kali muncul praktik serupa.
Pernyataan mantan ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur ini bukannya tak berdasar.
Hal itu pernah dialaminya sendiri ketika masih memimpin SBMI Jawa Timur.
Saat itu, sejumlah pengurus yang sedang mendampingi TKI bermasalah di Arab Saudi mendatangi sejumlah lembaga terkait seperti Satgas TKI, Kementerian Tenaga Kerja dan Tranmigrasi, BNP2TKI (Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI), serta Kementerian Luar Negeri.
“Kepada lembaga-¬lembaga itu mereka meminta uang dengan dalih untuk membantu upaya pembebasan TKI yang terjerat kasus hukum di Arab Saudi,” ujar Cholili.
Orang-orang itu bahkan membawa serta ayah dari TKI yang bermasalah untuk memperkuat kesan.