TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, menganggap wajar adanya aksi penolakan atas rencana penutupan lokalisasi pelacuran Dolly di Surabaya.
Terkait kondisi itu, Soekarwo meminta Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini untuk lebih intensif melakukan pendekatan dan penyadaran kepada pekerja Dolly demi meminimalisasi aksi penolakan.
"Di semua daerah, setiap kali ada penolakan, selalu ada yang mendukung dan menentang. Tapi semua bisa selesai dengan pemerintah membuka komunikasi yang lebih intensif dengan warga sekitar," kata Soekarwo, Selasa (20/5/2014).
Selain itu, semua pihak termasuk Forpimda Pemkot Surabaya diminta memberi usulan dan sumbang saran bagaimana cara terbaik melakukan penutupan komplek pelacuran itu.
Diakui Soekarwo, kendala yang besar dari penutupan lokalisasi pelacuran yang konon pernah menjadi terbesar se-Asia Tenggara itu, bukan pada para PSK dan mucikari. Namun, banyak masyarakat di sekitar areaL itu yang selama ini hidup bergantung dari keberadaan bisnis prostitusi.
"Yang ditinggal itu sekarang bagaimana hari depan mereka. Mereka tentunya memerlukan jaminan agar usai ditutup mereka juga dapat hidup, bahkan kalau bisa menjadi lebih baik," ujar Soekarwo.
Dia mengaku tidak bisa melakukan intervensi terhadap kebijakan kabupaten/kota. Pemprov, kata Soekarwo hanya bisa mendukung karena kebijakan Pemkot Surabaya itu dianggap baik.
"Pemkot niatnya baik, makanya Pemprov Jatim mendukung penuh penutupan Dolly," kata Ketua DPD Partai Demokrat Jatim ini.
Seperti diberitakan, sebulan menjelang penutupan, elemen pekerja Dolly didukung elemen buruh melakukan gerakan menolak penutupan. Senin (19/5/2014) kemarin mereka menyerbu kantor Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, dan memaksa lurah dan camatnya untuk menandatangani sikap penolakan penutupan lokalisasi pelacuran Dolly.