TRIBUNNEWS.COM,SLEMAN - Wakil Kapolda DIY, Kombes Pol Ahmad Dofiri, mengatakan penyelidikan kasus penyerangan rumah dan penganiayaan Julius Felicianus, pemilik rumah, terus dilakukan.
Hingga kemarin, sejumlah saksi dimintai keterangan. Namun sejauh ini tersangka yang ditangkap dan ditahan baru satu orang berinisial Kh. Pelaku lain yang jumlahnya sekitar 8 orang masih berkeliaran bebas.
"Penyidikan masih berlangsung, kami masih mendalami kasus ini. Tapi tolong jangan dikait-kaitkan dengan konflik SARA, masih terlalu dini," kata Dofiri seusai gelar pasukan Pengamanan Pilpres 2014 di Mapolda DIY, Senin (2/6/2014).
Dofiri memastikan, dua aksi massa di Perum YKPN, Ngaglik dan Pangukan, Sleman, tidak ada kaitannya. Menurut Dofiri, kedua insiden itu berbeda konteks dan pemicunya.
"Jika di Sleman, insiden itu muncul karena reaksi spontan warga sekitar terhadap terjadinya penggunaan tempat ibadah yang tidak berizin. Sementara di Ngaglik, sejauh ini penyidikan mengarah pada masalah pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan konflik perbedaan agama," ungkapnya.
Motif serangan menurut hasil pemeriksaan awal dipicu masalah ketersinggungan dengan kegiatan yang diadakan pemilik rumah.
"Masih akan kami dalami, jangan sekonyong-konyong dikaitkan dengan isu-isu yang belum jelas," terangnya.
Ia menegaskan jangan sampai ada pihak yang terprovokasi dengan munculnya kasus tersebut.
Polisi akan bertindak sesuai fakta hukum yang ada dan tidak gegabah mengambil keputusan.
"Dalam hal apapun kita mengambil tindakan, fakta hukum yang dikedepankan. Tidak bisa orang menyebut nama langsung dikaitkan dengan kasus ini," jelasnya.
"Kami mengimbau masyarakat agar tak mudah percaya isu. Di sisi lain, pencegahan konflik-konflik semacam ini terus dilakukan, melalui dari RT/RW, pemuka agama, tokoh masyarakat, hingga imbauan langsung Pemda dan kepolisian," tukasnya.
Lapor Polda
Perkembangan lain terkait kasus perusakan bangunan di Pangukan, Sleman, seorang anggota Majelis Gereja Pantekosta Pangukan, Almakameswara, kemarin mendatangi Mapolda DIY.
Almaka mengatakan pihaknya hanya melaporkan perusakan bangunan yang terjadi Minggu (1/6).
Namun, soal siapa dan pihak mana yang dinilai bertanggung jawab atas aksi tersebut, ia menyerahkannya ke kepolisian untuk menyelesaikannya.
"Saya tidak mau menuding siapa yang melakukannya, biar kepolisian yang mengusutnya. Bahkan, adanya jemaat yang membuka bangunan untuk beribadah saya juga tidak tahu, mungkin karena keinginan jemaat untuk memiliki tempat ibadah sendiri sudah tidak tertahankan karena memang ini hak kami sebagai warga Indonesia yang dijamin oleh undang-undang," katanya.
Wakapolda DIY, Kombes Pol Ahmad Dofiri, menjelaskan untuk kasus Pangukan, belum ada tersangka perusakan bangunan. Kata Dofiri, polisi baru fokus pemeriksaan saksi-saksi untuk mengembangkan kasus tersebut.
Almaka kemarin menjelaskan, jemaatnya terpaksa menyewa gedung untuk beribadah.
"Sudah tiga tahun ini kami menyewa gedung di Sinduadi, Mlati. Itupun tidak bisa dipaksakan kepada jemaat, jadi hanya sukarela saja berapa mau iuran, majelis sifatnya hanya menyelenggarakan saja," kata Almaka di Mapolda DIY, Senin siang.
Jemaat Gereja Pantekosta Pangukan ada sekitar 120 orang dari beberapa daerah di Sleman. Perkumpulan itu dirintis sejak 1990, dan kemudian mendapat hibah bangunan dari Niko Lomboan.
Pada 1995, jemaat itu mengajukan izin pendirian gereja ke Pemkab Sleman.
Namun hingga saat ini izin tak kunjung diberikan padahal persyaratan sudah dilengkapi.
Selama belum ada izin yang dikeluarkan, jemaat tidak diperkenankan untuk menggunakan bangunan tersebut.
"Sempat Pemda memberikan solusi untuk menggunakan pendopo Kecamatan Sleman. Tapi karena tidak nyaman menggunakan fasilitas publik, jemaat lebih memilih mencari tempat lain," jelasnya.
Delapan Pelaku Penyerangan Rumah Julius Belum Tertangkap
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger