Bukannya mengiyakan, Salim malah marah. Apalagi tidak satupun dari saudaranya yang tertarik dengan faham yang dianutnya.
Tahun berlalu, pemikiran Salim berubah menjadi gerakan. Dia mulai mendapatkan banyak pengikut setelah rajin mengisi ceramah di berbagai daerah.
Keluarga juga mulai terbiasa dengan aktivitas Salim. Sejak empat tahun silam, Salim berangkat ke Suriah untuk ikut berperang melawan pemerintah Bashar Al Assad.
Sesekali dia pulang mengunjungi anak istri dan ibunya.
”Keluarga sudah terbiasa. Jadi dia mau apa kita juga biasa saja,” ujarnya.
Keluarga sudah merelakan Salim. Mereka angkat tangan dan menyerah membuat Salim menjalani hidup ’normal’ di Malang.
Salim pun demikian. Dia sudah enggan mendiskusikan apapun perihal aktivitasnya kepada keluarga.
Hanya, istri dan anak-anaknya menjadi orang terdekat yang mengikuti gerakan Salim.
Di dalam keluarga, Salim dikenal sebagai sosok yang keras dan tempramen.
Suatu hari, dia pernah memukul mata kakak perempuannya hanya karena menyalakan televisi saat waktu maghrib.
Insiden itu membuat kakaknya sakit hati dan merasa menyesal menyekolahkan Salim sampai ke Yaman.
”Kakaknya heran mengapa Salim menjadi begitu keras. Kadang ya nelangsa karena selama ini dialah yang memenuhi kebutuhan Salim selama berkuliah,” ungkapnya.
Kini, Salim dan keluarganya terpisah jarak antara Indonesia dan suriah. Bahkan, keluarga yakin salim tak akan pulang.
Keluarga masih bersyukur, Salim rutin menghubungi ibunya. Meski keras, dia sangat menghormati dan menyayangi ibunya yang sudah sepuh.
Ayah Salim sudah lama meninggal sehingga ibunya lah yang selama ini memenuhi kebutuhan rumah tangga. (idl)
Ikuti kisah Salim Mubarok Attamimi http://www.tribunnews.com/tag/salim-mubarok-attamimi/