TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menggelar konferensi internasional bertajuk Strengthening Justice and Peace Through Interreligious Dialogue, Rabu (13/8/2014).
Ratusan tokoh dan intelektual muslim duduk satu forum dengan puluhan pastur dari 30 negara, yang tergabung dalam Justice, Peace, and Care of Creation (JPCC) dan Journees Romaines Dominicaines (JRD).
Gerakan radikalisme agama menjadi salah satu poin utama pembicaraan. Termasuk seputar gerakan ISIS (Islamic State in Irak and Syria).
Direktur Pesantren UINSA, Abdul Kadir Riyadi yang menjadi satu di antara pembicara yang meyakini gerakan ISIS di Indonesia tidak akan bisa berkembang.
Bukan semata-mata karena dihadang aturan, tapi karena bertolak belakang dengan kultur masyarakat, khususnya kultur kaum muslim Indonesia.
Berikut wawancara Harian Surya dengan Abdul Kadir Riyadi seputar gerakan ISIS di Tanah Air:
Anda yakin suatu saat ISIS juga akan mati. Padahal, saat ini, gelombang dukungan bermunculan dari sejumlah kelompok?
Menurut saya, ISIS mengusung gagasan tentang khilafah, tentang negara Islam, dan itu berasal dari Irak. Perkembangannya terkesan sangat cepat, walaupun sebenarnya itu juga karena media.
Ketika orang-orang Indonesia, terutama di Jawa Timur yang pendidikannya terbatas, saat mengetahui adanya gerakan ISIS yang sepertinya membahana, mereka akan terkejut.
Tetapi, ini keterkejutan sesaat saja. Meski secara psikologis kemudian ada yang tertarik, saya yakin keterkejutan itu akan terkikis dan tidak lagi tertarik.
Setelah tahu apa itu ISIS, mereka akan pulang.
Bagaimana ketertarikan itu bisa terkikis?
Yang pertama adalah dengan menunjukkan ajaran ISIS yang sebenarnya itu seperti apa. ISIS adalah ideologi dan tidak berbasis pada agama, apalagi Islam.
ISIS adalah ideologi politik, sama halnya dengan Marxisme dan Sosialisme, usianya tidak akan lama.
Lihat saja, Marxisme pernah luar biasa, tetapi sekarang sudah mati. Sosialisme juga pernah luar biasa, tetapi sekarang tidak lagi.
Ideologi ISIS ini tidak berbasis pada beberapa hal mendasar. Misalnya watak dasar manusia yang mencintai perdamaian.
Kedua, ISIS tidak berbasis pada cita-cita masa depan atau cita-cita akhirat, dan tidak berbasis pada human relations atau hubungan yang intim antar sesama manusia.
Ideologi adalah kepentingan. Marxisme mengusung kepentingan buruh. Sosialisme kepentingannya persamaan hak. Lalu ISIS kepentingannya apa? Kepentingannnya adalah Islamic State.
Nah, ketika kepentingan ini tidak terwujud—dan saya yakin akan susah terwujud— maka pasti ISIS akan mati.
ISIS selalu menggunakan idiom-idiom agama. Jihad fi sabilillah dan mati sahid misalnya, menjadi magnet untuk merekrut anggota dan pendukung. Bagaimana Anda melihat ini?
Tentang jihad mereka (ISIS) saya tidak mau komentar. Tetapi jihad yang sesungguhnya, menurut saya adalah perjuangan. Jihad bukan perlawanan, bukan juga permusuhan.
Jadi sangat penting untuk dibedakan antara perjuangan, perlawanan, dan permusuhan.
Sebagai perjuangan, maka jihad tidak harus punya lawan. Sebagai contoh, saya berjuang untuk bisa sukses, untuk bisa pintar, dan untuk bisa hidup. Dalam sebuah perjuangan, kadang-kadang lawannya justru adalah kita sendiri.
Jadi, konsep jihad itu menekankan pada aspek perjuangan kita sebagai manusia.
Perlawanan beda dengan perjuangan. Sebuah perlawanan atau permusuhan, selalu menganggap ada pihak lain sebagai lawan. Nah, inilah yang saya kira terlihat pada ISIS.
ISIS telah terkonstruksi sehingga seolah-olah setiap orang di sekeliling mereka adalah lawan.
Menurut mereka, setiap orang Amerika adalah lawan, setiap orang dari barat adalah lawan, sampai-sampai orang Islam yang tidak menerapkan syariat pun dianggap sebagai lawan.
Jadi, konsep jihad mereka didasari pada gagasan untuk melawan musuh, yakni semua orang yang tidak sealiran. Menurut saya, itu kesalahan yang luar biasa.
Kalaupun jihad dimaknai sebagai peperangan, maka harus dilihat dulu konteksnya.
Sebab kalaupun harus perang sekalipun, banyak sekali syaratnya. Kapan harus perang, siapa yang boleh diperangi, dan lain sebagainya.
Satu lagi idiom agama yang kerap dimunculkan adalah melawan thoghut. Video-video yang diunggah ISIS mengajak masyarakat meninggalkan dan melawan pemimpin-pemimpin Thogut. Apa sejatinya thoghut?
Dari akar katanya, thogut bisa dimaknai sebagai orang yang membangkang, tetapi pada umumnya dimaknai sebagai penguasa yang membangkang dari agama dan garis-garis besar agama.
Dalam pandangan mereka (ISIS), pemimpin-pemimpin kita dianggap thogut karena tidak menerapkan hukum-hukum Islam secara tegas. Hukum-hukum Islam yang dimaksud adalah hukum-hukum yang sesuai dengan yang dipahami dan diyakini ISIS.
Kalau tidak menerapkan berarti thogut, kalau menerapkan berarti tidak thogut.
Menurut saya, pemahaman mereka (ISIS) soal hukum Islam sangat kaku. Bagi mereka, hukum Islam itu adalah yang potong tangan, cambuk, atau menghukum mati orang berzinah. Padahal, itu hanya sebagian kecil dari hukum Islam.
Prinsip yang dikendaki Islam (dalam hukuman) sebenarnya adalah keadilan dan persamaan. Jadi, sebuah negara yang menegakkan keadian dan mewujudkan kemakmuran, walaupun bukan bernama negara Islam, menurut saya lebih Islami daripada negara (yang menggunakan nama -red) Islam tetapi tidak adil.
Misalnya menerapkan hukuman potong tangan, tapi yang potong tangan sembarangan.
Islam harus dipahami secara kontekstual. Demikian pula pesan-pesan agama harus disesuaikan dengan konteksnya.Agama itu turun pada konteks tertentu.
Maka ketika diterapkan pada konteks yang berbeda, tentu saja pemahamannya harus berbeda.
Tidak bisa satu penafsiran diterapkan pada konteks yang berbeda. Bisa salah kaprah nanti.
Contoh yang sederhana seperti ini. Saya yakin orang di sebuah negara yang kaya raya, tidak akan dengan mudahnya mencuri.
Demikian pula, di negara yang miskin, pencurian bisa terjadi di mana-mana. Maka, perintah potong tangan untuk pencuri di dua negara ini harus berbeda penfsirannya.
Masa orang yang mencuri untuk memenuhi kebutuhan makannya harus dipotong tangan? Beda lagi dengan orang kaya yang mencuri karena rakus, itu harus dipotong tangannya.
Terhadap orang yang miskin yang tidak punya apa-apa, tidak punya pekerjaan, maka harus penuhi dulu kebutuhannya. Kalau mencuri lagi, baru dipotong tangannya.
Jadi tidak boleh semena-mena menafsirkan agama itu. Penafsiran dan pemahaman harus disesuaikan dengan konteksnya.
Pemerintah dan aparat begitu gegap gempita menghadang. Tapi toh mobilisasi pendukung ISIS dari Indonesia ke Irak dan Suriah terus berjalan. Menurut Anda ?
Peran media massa sangat penting untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian.
Media harus menyampaikan bahwa perjuangan membela saudara-saudara kita yang tertindas, tidak harus dengan seperti itu.
Tidak harus dengan berangkat ke sana, tidak harus dengan angkat senjata dan melawan musuh.
Kita bisa membantu dengan memperkuat komunitas kita di sini, membangun kita sendiri, sehingga nantinya kalau mereka butuh bantuan keuangan seumpamanya, kita bisa bantu.
Ini sangat penting untuk memperkuat diri kita terlebih dahulu. Sebab bisa dikatakan, kekacauan di dunia ini disebabkan oleh ketimpangan kekuatan ekonomi yang berbeda.
Ada dunia yang kuat secara ekonomi, tetapi ada juga yang lemah. Kerakusan ekonomi
negara-negara kuat ini menindas negara-negara yang lemah, dan saat ini posisi kita berada pada pihak yang lemah itu.
Untuk bisa menghadapi agresi dari negara-negara yang kuat, kita harus dulu kuat secara ekonomi. Inilah pemahaman dan kesadaran yang harus dipahami oleh warga kita supaya tidak dengan mudah ikut arus.
Yang lebih penting selain faktor ekonomi adalah faktor sentimen keagamaan. Faktor simpati religius atau sentimen keagamaan orang itu jauh lebih kuat dari apapun.
Orang bisa tergerak untuk melakukan sesuatu itu karena sentimen keagamaan. Sentimen keagamaan lah yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak.
Oleh karena itu, ketika ISIS muncul, sikap kita yang paling penting adalah mengarahkan sentimen keagamaan itu supaya tidak destruktif. (ben)