TRIBUNNEWS.COM, JEMBER - UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang di dalamnya mengatur Pilkada dilakukan oleh DPRD dinilai tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak sistemik dengan perundangan sebelumnya.
Tidak konsistennya UU bisa membuat ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum adalah tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi yang diatur dalam UUD 1945.
Demikian diungkapkan oleh Pakar Hukum dari Universitas Jember Dr Nurul Ghufron kepada Surya, Jumat (26/9/2014).
Menurut Ghufron, RUU Pilkada yang disahkan melalui rapat paripurna DPR RI, Jumat (26/9/2014) dini hari tersebut tidak konsisten dengan UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang telah diundangkan sebelumnya.
UU tersebut dibuat dan disahkan oleh anggota DPR dalam periode yang sama. "Anggota dewan yang sama telah membuat perundangan sebelumnya tentang Pemilu yakni Penyelenggaraan Pemilu yang mengatur adanya struktur mulai dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/kota. Nah, sekarang tiba-tiba ada UU Pilkada yang menafikkan UU tersebut, menafikkan UU yang telah dibuat oleh mereka sendiri," kata Ghufron.
Dalam UU No 15 Tahun 2011 disebutkan tentang keberadaan KPU Pusat, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota serta kewenangannya.
Salah satu kewenangan KPU kabupaten/kota adalah menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di kabupaten/kota masing-masing.
"Dengan UU yang baru disahkan dini hari tadi melalui voting tersebut, maka KPU daerah tidak ada gunanya. Hanya cukup KPU pusat saja. Ini contoh bentuk inkonsistensi UU Pilkada ini dengan UU sebelumnya," tegasnya.
Dalam UU sebelumnya mengatur tentang penyelenggaraan Pemilu yang itu merujuk kepada Pilkada langsung yang dipilih oleh rakyat.
Ia menambahkan, Presiden dan Legislatif dipilih oleh rakyat yang mekanismenya diatur dalam UU yang telah disahkan sebelumnya. Kini menyusul ada UU Pilkada oleh DPRD yang piranti penunjangnya belum ada.
Ghufron menegaskan, dalam dunia politik kesepakatan hari ini, kemarin dan besok, sah-sah saja tidak sama.
Kemarin A, hari ini B, dan besok C. Namun, tegas Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unej itu, dalam hukum
tidak boleh.
"Dalam politis kemarin A, hari ini B, besok C itu sah-sah saja. Namun dalam hukum tidak. Harus ada kepastikan hukum. Kalau tidak ada kepastian itu melanggar konstitusi yang itu diatur dalam UUD 1945,"
tegasnya.
UU Pilkada yang baru disahkan dini hari itu dinilainya tidak konsisten, tidak sistemik dan tidak sinkron dengan UU lainnya.
Sehingga bagi pihak-pihak yang tidak menerima UU tersebut bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka yang mengajukan judicial review itu bisa saja anggota dewan yang tidak puas, asosiasi, juga perorangan yang merasa dirugikan oleh UU tersebut.