TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mencurigai adanya praktek 'menyedot' gula petani.
Praktek itu dilakukan dengan modus memainkan penghitungan tingkat prosentase rendemen atau kadar gula dalam tebu saat proses giling berlangsung.
Proses penghitungan rendemen itu dilakukan pihak pabrik, menggunakan alat khusus. Petani pemilik tebu tidak bisa mengontrolnya.
Mereka hanya tahu, ketika hasil penghitungan rendemen itu sudah dimumkan, misalnya rendemen tujuh persen atau delapan persen.
Angka rendemen tujuh persen itu artinya, dalam setiap 100 kilogram tebu yang digiling,
Menanggapi tudingan para petani APTR, pihak PTPN XI membantah tegas adanya permainan dalam penetapan rendemen.Agung Yuniarto, staf Sekper PTPN XI menegaskan, proses penentuan rendemen di semua PG di bawah naungan PTPN- XI dilakukan dengan sangat transparan.
"Proses penetapan nilai rendemen dihasilkan dari alat ukur yang akurat", katanya.
Menurut Agung, PTPN XI memiliki sistem yang dinamakan analisa rendemen individu (ARI). Artinya, setiap petani memiliki tingkat randemen yang berbeda-beda.
"Jangankan beda kecamatan atau kabupaten, beda petak saja rendemennya bisa berbeda pula. Jadi proses penetapan rendemen kami transparan. Petani bisa langung melihat dan hasilnya juga bisa langsung diketahui. Jangan lupa, di PG Asembagoes dan PG Pradjekan, randemennya mencapai 8,02 persen dan 8,11 persen,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu PT PTPN- XI juga memberikan penjelasan seputar kebijakan tidak memberi dana talangan untuk membeli atau menjamin gula petani.
Kebijakan ini sempat memancing protes petani. Bahkan, APTRI menganggapnya kebijakan itu sebagai bentuk ingkar terhadap kuawijab PTPN menyangga gula petani.
Kebijakan ini pula yang menyebabkan petani serentak rugi (Baca Surya kemarin).
Soal dana talangan itu, PTPN XI merasa pihak tidak berkewajiban memberikan dana talangan kepada petani tebu di wilayahnya. Sebab perusahaan milik negara itu sudah tidak lagi sebagai importir tercatat (IT) sejak Desember 2011.
Dalih itu yang membuat direksi PTPN XI enggan mengucurkan kembali dana talangan bagi ribuan petani di wilayahnya.
“Memang kami bukan IT lagi. Jadi tidak ada kewajiban. Apalagi, tidak ada aturan bahwa yang memberikan dana talangan itu harus PTPN XI,” ujar Khoiri, Sekretaris PTPN XI, Rabu (15/10).
Pria kelahiran Pasuruan itu merujuk Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 527/2004 tentang tata Niaga Gula yang menyebutkan, hanya pihak yang ditunjuk sebagai IT yang diwajibkan memberikan dana talangan.
Dana itu diambilkan dari keuntungan aktivitas impor.
Pada 2012 sampai 2013, PTPN XI tetap memberikan dana talangan. Khoiri mengungkapkan, dana itu didapat PTPN XI dari berhutang ke bank. Dana diberikan setelah tebu diproses menjadi gula.
”Dana itu cair tanpa harus menunggu gulanya laku melalui lelang,” ungkapnya.
Pada dua tahun itu, situasi antara petani dan PTPN XI tidak bermasalah. Menurut Khoiri, harga lelang gula di dua tahun tersebut jauh di atas HPP. Pada 2012 dan 2013, pemerintah menetapkan Rp 8.100. Sedangkan gula laku Rp 10.000 di 2012 dan setahun kemudian turun menjadi Rp 9.000.
Di tahun ini, HPP memang sampai dua kali naik. Pada Mei 2014, Menteri Perdagangan menetepkan HPP Rp 8250. Angka itu direvisi menjadi Rp 8500 pada Agustus 2014.
Khoiri mengakui, kondisi keuangan PTPN XI tidak sanggup lagi memberikan dana talangan karena stok gula mereka tidak laku dijual.
Masih kata Khoiri, pemberi dana talangan tidak harus PTPN. Dia mencontohkan, di PTPN lain, para petani merangkul investor untuk mendapatkan dana talangan.
Investor itu harus melalui persetujuan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR). Nominal dana talangan pun tidak selalu harus sesuai HPP.
Di PTPN lain, petani berhasil menggandeng investor. Skema pemberi talangan yang melibatkan investor memiliki hitungan sendiri.
Misalnya, kata Khoiri, bila harga lelang di atas HPP, maka selisih keuntungan itu dibagi antara petani dengan inveestor. Prosentasenya, 60 persen untuk petani dan sisanya masuk ke investor.
Dana talangan sebenarnya diberikan ketika harga gula pasaran di bawah HPP. Tujuan dana itu sebagai stimulan agar proses tanam petani tetap tidak terganggu. Aturan itu ditetapkan, HPP masih Rp 3.400.
Aturan itu tetap berlaku dengan menyesuaikan nilai HPP tiap tahunnya.
”Kami secara hukum tidak wajib. Namun masalahnya kami memang tidak sanggup lagi karena harga gula sangat rendah. Terakhir gula di pasaran cuma Rp 7900. Siapa yang mau kasih talangan? Kami juga sudah segini,” imbuhnya sembari meletakkan telapaknya di antara leher dan dagu.
Posisi PTPN XII diakui Khoiri sangat lemah. Penetapan HPP oleh pemerintah tidak memiliki daya paksa.
Banyak gula yang dilelang nilainya di bawah HPP. Pemerintah tidak bisa melakukan tindakan apapun. Begitu juga dengan pabrik gula yang tidak bisa campur tangan dengan proses lelang.
Dana talangan yang diberikan PTPN XI pada 2012 dan 2013 nilainya mencapai triliun-an Rupiah. Pada 2012, kucuran dana talangan menembus angka Rp 1,402 triliun. Kemudian di tahun selanjutnya naik menjadi Rp 1,478 triliun. Pada periode 2014, PTPN XI sudah mengucurkan dana Rp 634,3 miliar.
Pada tahun pertama pencairan dana talangan, gula terserap di pasaran sehingga uang hasil penjualan petani bisa diputar untuk membayar hutang. Apalagi, harga lelang selalu di atas harga dana talangan.
Petani pun merasakan keuntungan. Sehingga bisa lancar berproduksi.
Di tahun kedua, situasi tetap masih stabil meskipun harga lelang turun dari Rp 10.000 menjadi Rp 9.000.
Meski turun, harga lelang masih jauh di atas dana talangan dan HPP yang dipatok Rp 8.100. Dia mengklaim, selisih keuntungan itu seratus persen masuk kantong petani.
Sampai Oktober, stok gula di gudang PTPN XI mencapai 276.913 ton dan 140.275 ton diantaranya adalah milik PTPN XI. Setiap tutup tahun, gudang gudang PTPN XI hanya harus menyisahkan 30 ton saja.
”Artinya, gudang kami melimpah. Gula yang lama ngendon di gudang nilainya terus turun. Kami juga harus berburu waktu untuk menjual sesuai target,” ujarnya.
Ditambahkan Agung Yuniarto, staf Sekper PTPN XI, permasalahan muncul saat memasuki 2014. Direksi melihat, harga gula di pasaran terus merosot.
Kemudian, pemerintah menetapkan HPP pada Mei. Direksi sendiri sempat ingin melepaskan petani tanpa bantaun dana talangan.
Namun, managemen memilih tetap mengupayakan dana talangan itu dengan catatan disesuaikan dengan kemampuan likuiditas dan cash flow perusahaan. Situasi semakin rumit ketika pemerintah merevisi HPP dari Rp 8.250 menjadi RP 8.500 pada Agustus.
Petani menuntut PTPN XI memberikan dana talangan sesuai dengan HPP baru. Permintaan itu ditolak direksi. ”Harga gula di pasaran jauh dari HPP. Siapa yang mau menanggung kerugian? Apalagi gula kita tidak bisa dijual karena pasar Indonesia Timur dipenuhi gula impor,” ungkap Agung.
Selama ini, PTPN XI mendapatkan keuntungan dari bagi hasil proses produksi gula. Agung menjelaskan, skama bagi hasilnya dibagi tiga. Pertama, bila randemennya sampai 6 persen, maka 66 persen milik petani dan 34 persen menjadi hak pabrik gula (PG).
Lalu untuk randemen 6-8 persen, selisih 2 persen dibagi menjadi 70 persen milik petani dan sisanya diberikan ke PG. kemudian, bila randemen di atas 8 persen, prosentase pembagiannya 75 persen milik petani dan 25 persen menjadi hak PG.
Selain itu, PTPN XI memiliki sekitar 8.600 hektar lahan tebu yang juga diproduksi menjadi gula. Sedangkan tebu rakyat yang ada di wilayahnya mencapai 36 ribu hektar. Rata-rata, randemen tebu milik PTPN XI mencapai 7,26 persen.
”Kalau tebu rakyat atau petani sampai Agustus ini rata-rata 6,95 persen,” katanya.