News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Berita Eksklusif Jawa Timur

Pilih Giling di Rumah Jadi Gula Merah

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja mengangkut tebu dari Desa Loram Wetan, Kecamatan Jati, untuk dibawa ke Pabrik Gula Rendeng di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Kamis (30/8/2012). Dibutuhkan lahan tebu seluas 67.000 hektar guna dapat memenuhi kebutuhan bahan baku 13 pabrik gula di Jawa Tengah. (Kompas/P Raditya Mahendra Yasa)

TRIBUNNEWS.COM,MALANG - Petani di Malang selatan, khususnya Gondanglegi tidak punya pilihan.

Mereka harus tetap menanam tebu, sekalipun tahun ini bernasib buntung.

Wilayah ini dianggap sebagai lahan terbaik untuk menghasilkan tebu berkualitas tinggi.

Lagi pula kondisi lahan, yang mayoritas berupa lahan kering, juga akan merepotkan bila petani menyemai tanaman lain.

Petani tebu asal Pringu, Kecamatan Wajak, Hari Istiawan (34) mengatakan, tebu terbilang tanaman yang paling tidak merepotkan untuk kondisi lahan pertanian di kampungnya.

Tanaman ini hanya butuh pemupukan, dan menyiangi rumput serta tunas berlebih.

Tebu tidak butuh disiram, seperti tanaman palawija lain. Kebutuhan air tanaman ini sepenuhnya tergantung pada curah hujan.

Setelah itu tanaman tebu tidak lagi butuh perawatan. Petani tinggal menunggu panen. Umumnya tebu dipanen saat berumur sekitar satu tahun.

”Kalau sistem irigasinya bagus, petani disini tentu pingin juga menanam padi. Tapi kalau sekarang ini, tebu menjadi pilihan terbaik,” ujar Hari, Rabu (15/10/2014).

Kondisi lahan itu pula, yang membuat mereka tetap belum berpikir pindah tanaman, sekalipun tahun ini menamam tebu benar-benar terasa pahit. Harga gula rusak.

Kondisi ini terbalik dibanding dua atau tiga tahun lalu. Ketika itu tebu cukup menjanjikan.

Setiap hektare sawah, petani bisa memetik  keuntungan  Rp 40 juta hingga Rp 45 juta.

“Sekarang bisa dapat tinggal Rp 20 juta per hektare sudah bagus,” katanya.

Selain itu, saat tebu siap panen petani juga sulit mendapatkan surat perintah tebang dan angkut (SPTA).

SPTA dari PG ini hanya dikuasai pihak-pihak tertentu, termasuk koperasi. SPTA kemudian diperjualbelikan di antara petani.

Parahnya lagi, pembayaran tebu petani dilakukan di belakang. PG akan menggiling hasil panen petani, kemudian menjual hasil gulanya. Setelah gula terjual baru petani dibayar.

Meski pemerintah telah mematok harga Rp 8.500, namun pada kenyataan harga yang diterima petani bisa di bawah itu.

 ”Jika pihak PG menyatakan gula belum terjual, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Ainun, yang kerap jadi tempat mengadu para petani tebu ini.

Di tengah harga tebu yang dianggap kurang menguntungkan, keberadaan pabrik gula tradisional menjadi sedikit solusi bagi petani.

Sebab produsen gula merah berani membeli tebu petani dengan harga yang lebih tinggi. Sayangnya, kebutuhan tebu pabrik rumahan ini tidak terlalu besar.

Hariyadi, salah satu pemilik pabrik gula merah di Tulungagung menggambarkan, PG rata-rata membeli tebu petani dengan harga Rp 40.000 hingga Rp 42.000 per kwintal.

Namun pihaknya bisa membeli tebu petani hingga Rp 50.000 per kwintal.

”Kalau kami fleksibel, dan tentunya berani beli harga yang lebih tinggi. Karena kalau belinya sama dengan PG, tentu gak ada yang mau jual pada kami,” ujarnya.

Selain itu, pabrik gula merah tidak pernah mempermasalahkan rendeman.

Baginya, asal tebu sudah tua dan siap panen, cukup untuk menjadi bahan baku gula merah. B

iasanya untuk membeli tebu petani, Hariyadi memeriksa secara fisik tebu.

Pemeriksaan lebih untuk memastikan, tebu yang dipanen memang sudah tua.

Selanjutnya Hariyadi mengambil beberapa contoh tebu untuk dicoba. Jika rasanya manis dan tidak hambar, pembelian bisa dilanjutkan.

”Gak perlu ribet, cukup dilihat  terus dirasakan, berapa pun rendemennya asal manis pasti kami beli. Itulah yang membuat petani senang menjual tebunya pada kami,” pungkas Hariyadi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini