News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pariwisata Bali, Kekuatan Tradisi Versus Budaya Kota

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kretatif RI (Wamen Parekraf) DR. Sapta Nirwandar, SE bersama sejumlah pegiat seni Bali.

TRIBUNNEWS.COM,DENPASAR - Di tengah kebosanan gaya hidup yang diusung industri budaya pop, daya tarik lokal menjadi penting dalam perspektif  kepariwisataan Indonesia.

Tidak heran jika budaya lokal, kearifan lokal, yang tercermin dalam seni, ritual agama, tradisi, dan adat istiadat Bali harus menjadi kekuatan kepariwisataan di Bali.
 
Harapan inilah yang mengemuka dalam Seminar “Tantangan dan Masa Depan Pembangunan Kepariwisataan Berkelanjutan di Ubud,” yang berlangsung di Convention House The Royal Pita Maha, Kedewatan Ubud Bali,melalui rilis yang dikiri ke Tribunnews. Senin (20/10/2014).
 
Nilai strategis budaya lokal telah menginpirasi berbagai daerah untuk mengembangkan potensi lokalitas dalam pengembangan pariwisata.

Disamping itu, budaya lokal memiliki potensi dan peran sebagai budaya tandingan (counter culture) bagi dominasi budaya global yang dimitoskan sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakkan.

“Dengan berbagai pertimbangan maka pengembangan pariwisata tidak boleh meminggirkan budaya dan spirit lokal,” kata Wakil Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kretatif  RI (Wamen Parekraf) DR. Sapta Nirwandar, SE, yang hadir sebagai Keynote speaker.
 
Dalam kunjungan kerja tersebut, Wamen Parekraf juga tampil menjadi pembicara dalam diskusi “Airport Friendly”  yang berlangsung di Gedung Bali Tourisme Board, Denpasar.

Kunjungan kerja ke Bali ini, sekaligus menjadi perpisahan dan hari kerja terakhir Sapta dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.

“Semua sudah melakukan perpisahan. Pak SBY melakukan perpisahan. Saya dengan Bu Menteri (Marie Elka Pangestu) juga melakukan perpisahan di kantor. Nah saya juga ingin melakukan perpisahan sambil mengerjakan tugas ini,” ujar Sapta yang tampil penuh canda.

Bahkan bahan diskusi yang penting pun dia sampaikan dengan rileks serta memancing tawa peserta.
 
Menyoal Bandar Udara di Indonesia, menurut Sapta Airport itu sangat penting, karena menjadi cermin peradaban masyarakat setempat untuk orang yang baru datang ke tempat itu.

“Tapi masalahnya kita sering terlambat mengantisipasi masa depan. Daya tampung airport tidak dipikirkan dengan matang. Coba kita lihat Bandara Soekarno Hatta. Itu bandara paling ajaib, kapasitasnya hanya 20 juta penumpang, tapi bisa menampung sampai 80 juta penumpang (per tahun),” ujarnya memancing gelak peserta diskusi.
 
Akibatnya, tambah Sapta, kemacetan sering terjadi pada jam-jam sibuk. Namun yang membuatnya tersenyum adalah solusi yang kemudian muncul. “Bermunculan calo taksi. Ada juga ojek motor.

“Mungkin itu satu-satunya bandara yang punya ojek. Saya tahu itu karena saya pernah ditawarin naik ojek saat keluar pintu bandara,” ujar Sapta, tetap dengan gayanya yang humoris.
 
Problem Transportasi dan Budaya Urban

Demikian pula, pariwisata di Bali menuai ancaman. Muncul masalah baru yang belum terselesaikan, seperti kemacetan dan infrastruktur yang tak seimbang.

Pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat di Bali, semakin meningkatkan masalah mobilitas perkotaan.
 
Hal ini berimplikasi terhadap sumberdaya kota yang terbatas. Ketidak seimbangan antara infrastruktur publik yang tersedia dengan jumlah penduduk yang membutuhkan menyebabkan terjadi ketimpangan pelayanan kota.

“Ketimpangan pembangunan infrastruktur kota ini tidak terlepas dari masalah prioritas pembiayaan pembangunan,” kata Wakil Gubernur Provinsi Bali, I Ketut Sudikerta, yang hadir membuka acara diskusi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini