TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Pengunjung museum di Indonesia sangat berbeda dengan Eropa atau negara lain.
Di Eropa, khususnya Prancis dan Belanda, museum tidak pernah sepi. Pengunjungnya ya wisatawan, ya pelajar.
Museum tidak pernah sepi walaupun bayarnya mahal. Uang yang dikeluarkan itu, sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Pelayanan museum di sana juga sangat baik.
Pembenahan museum kita memang tidak bisa sepotong-sepotong. Bukan cuma museumnya yang diperbaiki. Tetapi yang penting juga adalah sarana transportasinya.
Kita harus memudahkan mobilisasi pengunjung dari museum satu ke yang lain.
Misalnya, pemkot harus menyediakan bus antar jemput bagi pelajar yang akan belajar ke museum.
Di sisi lain, pemerintah kota ini juga kurang bisa menggali potensi wisata museumnya.
Museum masih dipandang bangunan dan isinya. Padahal, museum luar ruang juga menyumpan potensi baik pendidikan maupun wisata yang menjanjikan. Contohnya di Vietnam.
Di sana, gorong-gorong pun mampu mengundang jutaan wisatawan asing datang. Gorong-gorong itu sempit. Dulunya menjadi sarana perang bagi tentara Vietkong.
Di Surabaya ada gorong-gorong serupa dengan terowongan Cu Chi di Vietnam, bahkan ukurannya jauh lebih besar.
Kalau ini digali menjadi wisata bawah tanah dengan tema saluran sanitasi kolonial, saya yakin akan menjadi jujugan wisata yang menarik.
Sayang, kita kurang kreatif dalam mengelola potensi wisata kota kita termasuk museum. Museum identik dengan orang yang dikotak dari jabatan.
Padahal, harusnya orang yang ditugasi mengelola museum memiliki kemampuan dalam menjual masa lalu agar bisa dinikmati sampai masa depan.
Sulit memang. Tetapi saya yakin bisa dilakukan. Surabaya memiliki sisi histories yang kuat. Itu modal awal untuk membangun museum yang kuat.
Masalah lain adalah aspek keamanan. Musuhnya museum itu bukan hanya kasus pencurian. Kita lupa, kebakaran dan kerusakan koleksi karena salah urus itu juga masalah.
Ingat, banyak bangunan cagar budaya kita yang tidak diproteksi dengan sistem pemadam kebakaran yang baik.
Suhu dalam museum sampai cara menempatkan barang koleksi juga perlu teknik khusus.
Sayang, kadang kita tahu bagaimana cara memperlakukan benda koleksi, namun memilih tidak mau tahu. Alasannya klasik, tidak ada dana. Inilah yang harus kita ubah paradigmanya. (idl)