News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Keisengan Nur Ali Itu Kini Berbuah Sukses dengan Omset Rp 50 Juta per Bulan

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KARAJINAN KAYU - Nur menunjukkan kayu jati yang menumpuk di rumahnya Jalan Raya Ngawi Cepu, Dusun Plumpungan, Desa Geneng, Kecamatan Marhomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Senin (27/4/2015).

Harga akar erosi ukuran besar dipatok antara Rp 750.000 sampai Rp 5 juta, meja besar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta, kursi Rp 250.000 sampai Rp 500.000.

Sedangkan souvenir berukuran kecil dihargai Rp 50.000 per unit. Setiap bulan, Nur mengirim pesanan 1.000 souvenir ke berbagai daerah.

“Kalau bentuk bagus, karakternya bagus, ada daya seninya, saya jual Rp 5 juta. Kalau souvenir, meja, kursi biasanya sudah ada yang pesan sebulan sebelumnya. Mereka dari Bali, nanti diekspor ke Jerman dan Prancis,” beber suami Ana Setiyowati ini.

Tetangga sebelah rumah Nur, Waito malah menjual kursi berukuran besar antara Rp 4 juta hingga Rp 9 juta. Waito juga membentuk akar jati menjadi daun berukuran besar, khusus bentuk daun dijual Rp 750.000.

“Saya pernah jual barang harganya Rp 10 juta, tapi ya barangnya istimewa (bagus sekali). Waktu itu pembeli orang Indonesia saja, tapi katanya mau diekspor,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Jati Aji yang menaungi 80-an pengrajin akar jati erosi di Desa Geneng, Yuli Winarno berharap pemerintah bisa mencarikan jaringan pasar barang jadi.

Selama ini, pengrajin di desa itu hanya menjual barang setengah jadi saja, jika sudah menjadi barang jadi, tentu harganya jauh lebih mahal.

“Kadang kala, pihak Dinas Perindustrian mengajak kami ikut pameran, tapi ya begitu, pernah barang jadi (sudah halus dan dipernes) kami pamerkan, tapi dimarahi oleh orang yang kulakan barang dari kami,” papar Yuli.

Meski hanya menjadi pemasok barang setengah jadi, kata Yuli, perputaran uang dari usaha kerajinan akar jati erosi oleh anggotanya sudah mencapai Rp 1,5 miliar sebulan.

Nilai itu bisa disebut fantastis bagi desa yang tak memiliki potensi apa-apa dan penduduknya juga hanya bisa mencari kayu bakar sebelum menjadi pengrajin.

“Kebangaan kami, sekarang kerajinan ini sudah bisa menciptakan lapangan kerja, kerawanan sosial (begal) sudah tidak ada. Keuntungan dari hasil penjualan kerajinan digunakan anggota kami untuk kegiatan ekonomi lain,” paparnya.

Kini, upah pekerja dari pengrajin mengalahkan UMK Bojonegoro yang hanya sekitar Rp 1,3 juta. Upah pekerja untuk kuli Rp 40.000 per hari, tukang Rp 75.000 per hari.

Sekarang ada sistem borongan. Orang yang menggunakan sistem borongan bisa menghasilkan Rp 250.000 per hari.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini