Laporan Tim Liputan Khusus Pos Kupang
TRIBUNNEWS.COM, BORONG - "Apalah arti sebuah nama", adagium sastrawan legendaris asal Inggris William Shakespears tersebut, tampak nyata di kehidupan warga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bagi warga NTT di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, nama-nama tak lagi memiliki makna khusus.
Bahkan, banyak orangtua memberikan nama kepada anak mereka tanpa lagi terkungkung oleh batasan-batasan pakem tak tertulis, semisal agama.
Warga di ketiga kabupaten tersebut yang mayoritas Katolik, tak lagi hanya mematrikan nama santu atau santa seperti Maria, Mathius, Yohanes, Magdalena, Petrus, Yakobus, dan lainnya.
Mereka juga memadukan nama-nama orang suci tersebut dengan nama yang lazim di kalangan muslim, semisal Muhammad, Ali, Yusuf, Fathimah, atau Siti.
Pemberian nama ini sudah terjadi sejak dahulu kala. Ini dipengaruhi faktor lingkungan yang majemuk, atau kehidupan masyarakat Muslim dan Kristen yang berdampingan sejak dahulu kala.
Belum lagi faktor kawin campur antara orang Katolik dengan Muslim, sehingga menimbulkan nama-nama campuran yang diberikan kepada anak dan keturunannya.
Hingga kekinian, nama campuran yang diambil dari nama Katolik dan Muslim tetap ada dan digunakan oleh masyarakat Manggarai.
Tidak menembus batas tradisi keagamaan, banyak orangtua juga memberikan nama anak memakai kosakata Jawa atau nama tokoh nasional, artis, penyanyi, pahlawan, olahragawan dan sebagainya.
"Saya dan juga banyak warga lain berasal dari keluarga yang menjalani kehidupan di daerah pantai, di mana di daerah itu hidup masyarakat majemuk orang beragama Katolik dan Muslim. Kami hidup bersaudara, sehingga persoalan nama tak lagi dipersoalkan," tuturnya, Selasa (28/7/2015).
Tetap Dipertahankan
Seperti dirinya, sang ibu memberikan nama Supratman karena menyukai nama pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf (WR) Supratman.
Agus menuturkan, saat masih kecil ia sempat protes kepada orangtuanya kenapa namanya menggunakan nama Supratman seperti orang Muslim.