Meskipun tidak semua aset PT KAI bersertifikat, namun mereka sudah memegang groundcard yang merupakan sertifikat pada zaman penjajahan Belanda waktu silam.
"Ada sekitar 50 persen yang sudah bersertifikat. Namun memakai groundcard sudah cukup. Apalagi kan memang tanah negara tidak bisa dimiliki perorangan. Kami bisa menuntut," ucapnya.
Sementara, warga yang menempati lahan milik PT KAI akan mendapatkan biaya ganti pembongkaran bangunan.
Pihak PT KAI sudah melakukan proses maping dan pengukuran lahan milik warga yang terkena dampak reaktivasi.
Sebelumnya, PT KAI melakukan maping dan pengukuran yang dilakukan supaya PT KAI mengetahui luasan lahan, jumlah kepala keluarga (KK), dan pendataan uang bongkar rumah milik warga.
Besarnya uang pembongkaran bangunan sebesar Rp 250 ribu permeter persegi untuk bangunan permanen dan Rp 200 ribu untuk bangunan semi permanen.
"Awalnya mereka menuntut ganti rugi seperti pembangunan double track. Namun reaktivasi ini bukan pembebasan lahan, melainkan meminta kembali aset kami," kata pria berkacamata itu.
Selain reaktivasi jalur, tahun ini PT KAI juga berencanya membangun lahan peti kemas atau Dry Port yang luasnya 5 hektare di Kelurahan Tanjung Emas.
Lahan peti kemas atau dry port yang dibangun sebagai pendukung untuk reaktivasi jalur KA Tawang-Pelabuhan Tanjung Mas. (*)