TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Banyak yang bertanya kenapa para pendaki di Lawu bisa terjebak api dan tak mampu meloloskan diri hingga akhirnya tewas terpanggang.
Mulyanto, seorang pendaki senior dari Solo, menjelaskan berdasarkan informasi yang didapatnya para pendaki yang menjadi korban dalam kondisi hendak turun.
“Mereka dalam kondisi mau turun gunung. Logikanya, fisik pasti sudah sangat lelah, karena sudah mendaki dan ingin segera sampai bawah,” beber Mulyanto, Senin (19/10/2015).
Dalam kondisi tersebut, biasanya emosional tak terkendali, dan kerap muncul halusinasi. Atau justru memilih nrabas atau tracking di jalur yang tak seharusnya dilalui.
“Kebiasaan buka jalur sendiri inilah yang kerap membuat pendaki tersesat. Mungkin di saat buka jalur baru inilah, mereka bertemu titik api, dan dalam waktu sekejap sudah terkepung sehingga tak bisa keluar,” beber dia.
Selain itu, di musim kemarau seperti ini kondisi kawasan puncak Lawu sangat panas dan berdebu. Angin juga bertiup sangat kencang, sehingga titik api sedikit saja bisa berkobar besar dalam waktu singkat.
“Lebih celaka lagi jika bekal air minum habis. Padahal untuk kemarau seperti sekarang, semua mata air di kawasan puncak seperti sendhang Drajat, Jolotundho, sendhang Satriyo dsb. menjadi kering,” ujar Mulyanto.
Dalam kondisi tersebut ditambah panasnya suhu akibat hutan yang terbakar, jelas mempercepat pendaki menjadi dehidrasi atau kekurangan cairan. Dan disitu jangankan meloloskan diri, mungkin saja mereka terbakar dalam kondisi pingsan.
“Asap tebal yang muncul juga menyesakkan pernafasan. Bisa dibayangkan saat dehidrasi masih ditambah sesak nafas, maka kemungkinan bisa meloloskan diri dari kepungan api sangat kecil,” urai dia. (Joglosemar.co/Deniawan Tommy Chandra Wijaya)