Laporan Wartawan Tribun Jateng, Khoirul Muzakki
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG -Thio Hauw Lie tak menyangka bakal semahir ini, tangannya lincah memainkan wayang Potehi dari boneka kecil yang terbuat dari kain kantong menyerupai tokoh legenda Tiongkok.
Dibantu lima kru memainkan gembreng dan tambur, mulut Hauw Lie tak henti bernarasi. Potehi adalah gabungan dari tiga kata, Poo artinya kain, Tay adalah kantong, dan Hie berarti boneka.
Pertunjukan wayang Potehi di Pasar Imlek Semawis, Gang Tengah, kampung Pecinan turut menyemarakkan acara tahunan tersebut. Tapi di dalam benaknya, Hauw Lie khawatir sekali akan masa depan kesenian khas Tiongkok tersebut bakal pudar.
"Sebenarnya takut kalau tidak ada yang meneruskan, budaya ini nanti bisa hilang," kata Hauw Lie kepada Tribun Jateng pada Jumat (5/2/2016).
Ketakutan Hauw Lie beralasan. Pria berusia hampir kepala lima ini mengungkapkan, orang yang memiliki keahlian memainkan wayang Potehi sangat langka. Bahkan di Semarang, hanya ada dua dalang yang masih aktif mementaskan pertunjukan wayang Potehi, dia salah satunya.
Wayang Potehi, tercipta sebagai seni, yang menurut anggapan, tidak patut dikomersilkan. Komersialisasi seni membuat seni tidak lagi berharga.
"Dulu bapak takut kalau diajarkan ke anak nanti dikomersilkan, terus jadi malas bekerja karena mengandalkan pentas," kenang Hauw Lie.
Hauw Lie yang awalnya hanya mendampingi sang ayah, Thio Tiong Gie, mendalang wayang Potehi tiap kali pentas. Selama itu ayahnya tak pernah mengajarkannya langsung memainkan wayang Potehi. Diam-diam, ia menghafal gerakan tangan sang ayah memainkan Potehi, termasuk dialog-dialognya.
"Saya belajar sendiri. Saya sekarang saja masih mau mendalami. Tapi tidak ada gurunya," kata dia.
Hauw Lie berharap kesenian yang telah mewarnai kehidupan masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun itu tidak punah. Melalui pentas terbuka, ia ingin memacu pemuda Tionghoa melestarikan kebudayaan tersebut.