BANYAK keunikan tersaji di Pasar Papringan, Temanggung. Pasar ini berusaha mengampanyekan hidup sehat dan ramah lingkungan.
Ratusan warga terlihat menyebar di sebuah kebun bambu di Dusun Banaran Kelingan, Desa Caroban, Kecamatan Kandangan, Temanggung, Minggu (20/3/2016) pagi.
Keramaian di kebun bambu itu mirip pasar. Setelah didekati, benar saja ternyata di sana adalah sebuah pasar yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Pasar Papringan.
Menurut warga setempat, papringan merupakan sebutan lazim untuk satu tempat rerimbunan pohon bambu.
Seorang penjual makanan, Mujiah mengungkapkan, pasar ini hanya buka setiap Minggu Wage.
"Ini baru ketiga kalinya," kata perempuan asal dusun setempat yang berjualan kupat tahu.
Pantauan Tribun Jateng (Tribunnews.com Network), pagi itu ratusan orang memadati pasar yang luasnya sekitar 300 meter persegi.
Tidak ada terpal atau atap permanen dan los-los layaknya pasar pada umumnya. Meski demikian, rerimbunan bambu membuat suasana pasar itu sejuk.
Pasar itu menyediakan berbagai makanan tradisional, minuman, dan produk-produk kerajinan dari bambu.
Makanan-makanan yang dijual pun punya nama unik dan beberapa di antaranya sudah jarang ditemui di pasar lain.
Suasana Pasar Papringan di Temanggung
Misalnya makanan yang disebut penjualnya samiler (kerupuk singkong), manggleng (olahan singkong), glanggem, rondo royal, sega megono, kacamata (olahan singkong dan parutan kelapa), ketan lupis, dan lainnya.
Sementara minuman yang dijual mulai kelapa muda, adon-adon coro, jamu dan lainnya. Sedangkan produk kerajinan yang bisa dibeli di pasar itu di antaranya topi dari bambu yang bentuknya mirip 'ekrak' namun ukuran kecil, radio dilapisi bahan kayu, dan bahkan ada sepeda yang sebagian rangka bodinya terbuat dari bahan bambu.
Tak Ada Plastik
Penjual makanan lain, Komariah (50) mengungkapkan ada sejumlah aturan bagi pedagang yang berjualan di Pasar Papringan.
Misalnya adanya larangan pemakaian plastik dan sebagai penggantinya memakai besek. Pedagang juga dilarang memakai penyedap rasa atau Msg (monosodium glutamate).
"Pedagang diwajibkan memakai bahan-bahan yang ramah lingkungan dan sehat," kata Komariah seraya menggoreng makanan memakai tungku berbahan bakar arang.
Uniknya, pembeli dan penjual juga tidak bisa memakai uang rupiah sebagai alat pembayaran.
Pembeli memakai koin saat berbelanja di Pasar Papringan Temanggung
Baik pembeli maupun penjual harus menukarkan uang rupiah itu dengan alat pembayaran yang oleh warga desa setempat disebut "koin pring".
Bentuknya memang mirip koin, namun terbuat dari kayu dan bambu. Ada yang berbentuk bulat dan ada yang berbentuk kotak.
Nilai yang tertera pada koin pring itu ada empat, yaitu "1", "5", "10", dan "50". Nilai "1" itu sama dengan Rp 1.000, nilai "5" sama dengan Rp 5.000, nilai "10" sama dengan Rp 10.000, dan nilai "50" sama dengan Rp 50.000.
Pembeli yang akan belanja harus menukarkan uang rupiah di petugas pasar yang ada di sejumlah titik tersebar di area pasar.
"Tidak repot, teman-teman pedagang malah senang memakai koin pring. Jadi setiap selesai berdagang, kami kembali menukarkan koin pring dengan rupiah kepada petugas pasar," kata Komariah.
Gubernur Berbelanja
Pasar Papringan memberdayakan warga setempat untuk diprioritaskan menjadi pedagang.
Seorang penjual kopi atau barista, Anjar Purnomo (25) menuturkan ia sebelumnya bekerja di bidang tembakau. Namun bisnis tembakau itu tidak bisa selalu mendatangkan rezeki karena sifatnya musiman.
"Saya diberi pelatihan oleh petugas pasar untuk jadi barista dan sekarang bisa berjualan di sini," kata Anjar.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berbelanja di Pasar Papringan
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan istrinya, Siti Atikoh, juga terlihat berbelanja sejumlah makanan di Pasar Papringan.
Ganjar juga membawa sejumlah koin pring untuk alat pembayaran.
"Saya berikan apresiasi kepada pasar ini. Saya lihat pembelinya ada yang dari luar kota dan bahkan ada warga asing," kata Ganjar.
Ganjar berharap desa-desa lain di Jawa Tengah juga kreatif berinovasi mengembangkan potensi wilayahnya.
"Saya yakin di setiap desa ada yang khas dan itu perlu dikembangkan," ungkapnya. (a prianggoro)