TRIBUNNEWS.COM, POLEWALI MANDAR - Diduga stres, Abdi (24), seorang pemuda dipasung oleh keluarganya sendiri di ruang dapur sebuah rumah panggung di Dusun Penanian, Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Abdi dipasung dengan cara kedua tangan dan kakinya dirantai dan digembok besi. Meski bicaranya terlihat normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita gangguan jiwa, namun Abdi dianggap keluarganya sedang sakit.
Abdi merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya telah meninggal dunia sepuluh tahun silam. Menurut Abdi, ia dipasung oleh pamannya sejak tujuh bulan lalu karena dianggap meresahkan warga.
Meski hidup terpasung, namun Abdi tak pernah lupa makan sahur untuk menjalankan puasa di siang hari.
"Saya puasa terus, Pak. Saya merasa tersiksa batin diperlakukan seperti ini. Seperti sudah sepuluh tahun rasanya saya di sini, padahal baru tujuh bulan," kata Abdi.
Dia mengaku dipasung oleh pamannya karena dianggap sering mengganggu warga. Abdi ditempatkan di ruang dapur belakang rumahnya. Seluruh aktivitasnya ia lakukan di situ, mulai dari makan hingga buang air.
Abdi berharap dirinya segera dilepaskan dari pasungan. Ia mengaku diperlakukan tidak manusiawi oleh keluarganya.
Sementara itu, Heni (50), ibu kandung Abdi, hanya bisa meneteskan air mata sambil menatap anaknya yang kini dipasung dengan rantai besi.
Heni mengatakan, anaknya dipasung bukan keinginan dirinya, melainkan sang paman Abdi karena dianggap mengganggu orang lain.
Heni mengaku sangat prihatin melihat kondisi anaknya dipasung berbulan-bulan.
"Saya juga kasihan pak lihat anak saya. Ia dipasung oleh pamannya karena dinilai sering mengganggu warga," kata Heni sambil menangis.
Menurut warga sekitar, sehari-hari Abdi tidak menunjukkan tanda-tanda ada gangguan jiwa. Karena semua pertanyaan warga bisa dijawab layaknya orang sehat.
Hanya saja Abdi kadang mengamuk dan merusak barang apa saja di sekitarnya jika penyakitnya kambuh lagi.
"Baik ji pak, cuma kadang kalau datang lagi sakitnya bisa mengamuk," katanya.
Untuk menghidupi keluarga kecilnya, Heni terpaksa mencari nafkah dengan cara membuat sapu lidi atau menjual sayur kangkung yang dipetik di sungai untuk dijual ke pasar. Hasil penjualan yang tidak seberapa itu dipakai Heni untuk membeli kebutuhan pokok seperti beras dan lainnya.
Heni mengaku tidak mendapatkan jatah beras miskin atau Raskin. Dulu ia mengaku pernah mendapat pembagian raskin beberapa liter dari yang seharusnya 20 liter per bulan. Namun belakangan setiap kali ia datang ke kantor desa setempat petugasnya hanya bilang semua raskin sudah habis dibagikan.
"Dulu saya dapat pak, tapi sekarang tidak dapat lagi. Saya pernah tanya petugasnya tapi katanya semuanya sudah dibagi-bagi,” ujar Heni.
Heni mengaku tidak tahun kenapa dirnya tidak mendapatkan jatah raskin. Namun ia berharap ada perhatian dari pemerintah agar anaknya bisa diobati.(Kontributor Polewali, Junaedi)