Pembuatannya pun , dikatakan Lilik juga cukup ribet. Satu kain batik dengan motif mangrove itu dikerjakan dalam waktu seminggu.
Motifnya pun bervariasi, ada yang motif dengan tingkat kesulitan rendah ataupun tinggi.
"Tapi yang paling lama itu tahap pewarnaan kainnya, untuk gambar dan canting hanya sehari pun cukup," tandasnya.
Sedang Sujiah merasakan hal yang sama seperti dialami Lilik. Ia mengaku batiknya pun diminati para tamu dari luar negeri.
"Kalau saya lebih ke kemejanya sih, ada sekitar enam kemeja yang sudah terjual. Untuk kainnya hanya empat potong yang terjual," ujarnya.
Ibu dua anak ini menambahkan, untung yang didapatkannya pun jutaan. Satu kemeja dijualnya dengan harga Rp 200.000, sedangkan untuk kain dijualnya dengan harga Rp 300.000.
"Untung yang saya dapatkan sekitar 50 persen dari harga jual, karena sisanya untuk modal produksi," paparnya.
Ia mengatakan, batik mangrove ini memang bisa dikatakan batik langka. Sebab, tidak ada yang membuat batik motif mangrove di tempat lain.
"Oleh karena itu, kami memasang harga tinggi, batik mangrove ini semakin tren setelah dibukanya wisata mangrove di Wonorejo," tandasnya.
Ia berharap, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus mengadakan event-event besar. Ia meyakini semakin banyak tamu asing ataupun lokal yang datang ke Wonorejo bisa meningkatkan omzet penjualannya.
"Saya justru akan senang kalau ada event meskipun capek tapi terbayarkan karena karya batik saya disenangi banyak orang. Tidak hanya itu, kalau mereka cocok dengan motif mangrove kan tidak menutup kemungkinan kembali lagi kesini," pungkasnya.