Sagi tak sendirian, ada dua sopir bus sekolah lainnya yang bertugas sama mengemudikan bus sekolah SMP Bumi Khatulistiwa. Yakni Mustari dan Wahid.
"Ada siswa yang rumahnya di tepi jalan di jalur lewat bus, bisa langsung naik. Cuma biasanya di titik terdekat dia sudah menunggu lebih awal di situ, jadi naiknya dari situ, karena ngumpul di situ," terangnya.
Dengan aturan toleransi tidak lebih dari lima menit, Sagi mengaku pernah ada siswa yang terlambat ke check point. Namun sangat jarang sekali, karena selama ini rata-rata siswa selalu tepat waktu sesuai jadwal penjemputan di titik terdekat kediamannya.
"Ada, tapi tidak sering, jarang. Mereka kalau terlambat informasi dulu dari orangtuanya. Pak anak kami terlambat, jalan duluan saja katanya begitu. Kalau tidak di antar orang tua ke sekolah, dia bisa ngejar ke rute berikutnya. Kebanyakan anak-anak ini tepat waktu," paparnya.
Sagi mengungkapkan, jika pada awalnya yang dioperasikan sekolah tersebut, bus bermesin Isuzu, namun kini sudah menggunakan bus bermesin Hino 130 Dutro.
"Red-nya, masing-masing pagi satu kali, pulang satu kali. Ndak terlalu banyak, satu-satu bus saja. Antar dan jemput jalurnya tetap, semua rute sama, ndak berubah," ungkap pria asal Blora, Jateng ini.
Selama enam tahun menjadi pengemudi bus sekolah, Sagi mengaku lebih banyak suka daripada duka. Suka, menurutnya dapat tersenyum melayani siswa-siswi di sekolah tersebut, sementara duka dihadapi tatkala mesin bus ngadat atau saat menghadapi kendala jalanan yang macet.
"Kalau bus yang sekarang jarang, tapi kalau yang dulu iya sering. Kalau yang ini ndak ada, mudah-mudahan ndak ya, sudah dua tahun ini digunakan, jangan sampailah, kasihan anak-anak," ujarnya.
Pria beranak satu ini, mengaku betah bekerja di sekolah tersebut. Dalam setiap bulannya ia digaji sesuai standar (upah minimum kabupaten) UMK Kubu Raya.
"Sekitar Rp 1.650.000 ya UMR Kubu Raya, ditambah lembur dan uang makan, cukuplah," sambungnya.